Selasa, 07 Januari 2014

Tugas Dasa Aksara

Dasa Aksara " Sa Ba Ta A I Na Ma Si Wa Ya " yang merupakan penyatuan dari 2 (dua) hal yang berbeda ( Rua-Bineda), untuk dapat berbakti dengan penuh kasih ( ISwara ) atas Sinar-Nya ( Aditya). Jika sudah menyadari betul makna ini barulah memberikan "Hormat" pada "Siwa". Dimanaakhir dari penyatuan itu dalah OM itu sendiri (Eka Aksara) setelah melewati beberapa propses kesadaran dan beberapa proses peleburan aksara suci dari Dasa Aksara, Panca Aksara ( Na Ma Si Wa Ya), Tri Aksara ( Ang Ung Mang) , Dwi Aksara ( Ang Ah).. Dan  bagaimana hubungannya dengan Mantram Gayatri ?   Dasa aksara dan Mantra Gayatrisangatlah besar kaitannya, dimana pada Gayatry Mantra yang di awali dengan :   OM, tidak akan hidup, jika tanpa adanya unsur Rua Bineda yang disatukan . Salahsatunya yaitu "Pengangge Sastra"  yang umumnya terdapat setiap diatas aksara Suci ( Arda Candra - Bindu - Nada ). Rua bineda juga erat kaitannya dengan Tinggi Rendahnya suatu getaran suara/Irama, dimana dengan menghasilkan getaran dan irama yang pas akan menghidupkan aksara itu sendiri. Pada Gayatry, oleh karena OM sudah termasuk A-U-M, maka hal ini tidak di ucapkan lagi. Namun meskipun tidak diucapkan secara langsung, A-U-M sudah dijabarkar ke dalam hal yang jauh lebih luas : "Bhur - Bwah - Swah". Tat Sawitur ..... pada gayatri bermakna "Itu...yang di puja". Pemujaan ini dilakukan dengan penuh kasih ( Iswara). Sawitur ...atau Sawitri , adalah pada  yang yang bersinar ( Aditya) Bargo dewasya dimahi... merupakan pemujaan terhadap kebesaran-Nya, serta tambahan nuntuk menyampaikan maksud dan tujuan dari si Pemuja dengan yang di Puja Dengan uraian singkat diatas, itu berarti mantra Gayatri merupakan hal utama/inti dari semua mantra. Jika mantra Gayatri sudah mampu dipahami penuh baik itu makna,arti,tujuan, pengucapan nada/Irama yang pas dengan getaran yang ada dalam tubuh masing-masing serta sudah mampu untuk menguasai dari penjabaran dari yang INTI sampai Perluasannya, ... maka mantra gayatri adalah mantra dari Semua mantra. Kekuatan dari mantra ini adalah sama dengan menggunkan Dasa Aksara sampai Eka Aksara (OM), jika sudah dipahami betul. Aksara Jawa Kuno BAB I PENDAHULUAN 1.1    Latar Belakang Aksara jawa merupakan salah satu peninggalan budaya yang tak ternilai harganya. Bentuk aksara dan seni pembuatnya pun menjadi suatu peninggalan yang patut untuk dilestarikan. Akasara Jawa ini digunakan di daerah Sunda dan Bali, meskipun memiliki sedikit perbedaan dalam penulisannya. Namun sebenarnya aksara yang digunakan sama. Orang jawa sudah mempunyai bentuk penulisan aksara, yang di anggap adi luhung leluhur bangsa jawa hingga kini ( Slamet Riyadi 1996:1). Sebelum itu, tidak dapt bukti yang menunjukan bagsa jawa memiliki aksaranya sendiri ( Poerbatjaraka 1952: VII & Slamet Riyadi 1985:15). 2.1 Tujuan Tujuan Pembuatan Makalah Bilangan dan Angka pada zaman Jawa Kuno adalah : 1.      Mengetahui Bilangan dan Angka pada zama Jawa Kuno yang digunakan pada zaman sebelum masehi. 2.      Menambah wawasan terhadap pengenalan hasil karya Matematika menurut budaya Jawa. 3.      Sebagai pelegkap nilai Pendidikan Matematika 1. BAB II PEMBAHASAN 2.1  Aksara Bahasa tulis merupakan salah satu yang membedakan antara masa awal sejarah dan prasejarah. Perkembangan bahasa tulis bermula sejak sebelum masehi, dimana awalnya manusia menggunakan bahasa gambar untuk berkomunikasi. Perkembangan cara berkomunikasi melalui tanda dan gambar berkembang terus sekitar tahun 3100 SM, bangsa Mesir menggunakan pictograph sebagai simbol-simbol yang menggambarkan sebuah objek. Komunikasi dengan menggunakan gambar berkembang dari pictograph hingga ideograph, berupa simbol-simbol yang mereprentasikan gagasan yang lebih kompleks serta konsep abstrak yang lain. Perpindahan yang mendasar dari bahasa gambar dan tanda yang dibunyikan (pictograph, ideograph-menunjukan beda serta gagasan) hingga bahasa tulis yang dapat dibunyikan dan memiliki arti (phonograph-setiap tanda atau huruf menandakan bunyi). Evolusi dari bahasa tulis merupakan salah satu bagian dari perjalanan peradaban manusia guna mencapai kesempurnaan hidup terutama dalam cara berkomunikasi (Sihombing, 2001). 2.2  Aksara Jawa Aksara Jawa yang dalam hal ini adalah aksara turunan aksara Brahmi yang digunakan atau pernah digunakan untuk penulisan naskah-naskah berbahasa Jawa, Makasar, Madura, Melayu, Sunda, Bali, dan Sasak. Bentuk Hanacaraka yang sekarang dipakai sudah tetap sejak masa Kesultanan Mataram (abad ke-17) tetapi bentuk cetaknya baru muncul pada abad ke-19. Aksara ini adalah modifikasi dari aksara Kawi dan merupakan abugida. Hal ini bisa dilihat dengan struktur masing-masing huruf yang paling tidak mewakili dua buah huruf (aksara) dalam huruf latin. Ada Beberapa Aksara, diantaranya : 1.      Huruf Dasar (Aksara Nglegena) Aksara Nglegena adalah aksara inti yang terdiri dari 20 suku kata atau biasa disebut Dentawiyanjana, yaitu: ha, na, ca, ra, ka, da, ta, sa, wa, la, pa, dha, ja, ya, nya, ma, ga, ba, tha, nga 2.      Huruf Pasangan (Aksara Pasangan) Aksara pasangan dipakai untuk menekan vokal konsonan di depannya. Misal, untuk menuliskan mangan sega (makan nasi) akan diperlukan pasangan untuk “se” agar “n” pada mangan tidak bersuara. Tanpa pasangan “s” tulisan akan terbaca manganasega (makanlah nasi). Berikut daftar Aksara Pasangan: 3.      Huruf Utama (Aksara Murda) Aksara Murda yang digunakan untuk menuliskan awal kalimat dan kata yang menunjukkan nama diri, gelar, kota, lembaga, dan nama-nama lain yang kalau dalam Bahasa Indonesia kita gunakan huruf besar. Berikut Aksara Murda serta Pasangan Murda: 4.      Huruf Vokal Mandiri (Aksara Swara) Aksara swara adalah huruf hidup atau vokal utama: A, I, U, E, O dalam kalimat. Biasanya digunakan pada awal kalimat atau untuk nama dengan awalan vokal yang mengharuskan penggunakan huruf besar. 5.      Huruf vokal tidak mandiri (Sandhangan) Berbeda dengan Aksara Swara, Sandangan digunakan untuk vokal yang berada di tengah kata, dibedakan termasuk berdasarkan cara bacanya. 6.      Huruf tambahan (Aksara Rekan) Aksara Rekan adalah huruf yang berasal dari serapan bahasa asing, yaitu: kh, f, dz, gh, z 7.      Aksara bilangan (Aksara Wilangan) Orang Jawa kuno benar-benar menyukai sastra, bahkan untuk menyatakan bilangan-bilangan mereka menggunakan  bahasa (kata) yang indah-indah sebagai pengganti angka. Banyak orang yang mungkin menganggap kalau angka dan bilangan adalah hal yang sama padahal sebenarnya angka dan bilangan adalah hal yang berbeda. Angka tidak lain adalah simbol yang digunakan untuk melambangkan suatu bilangan sedangkan bilangan itu sendiri merupakan suatu obyek yang abstrak. Sedangkan, apa yang nampak (seperti angka, bilangan, kubus dll) hanyalah merupakan upaya untuk melambangkan hal-hal yang abstrak. contoh: 12——-> angka dan mana bilangan pada “12”. Pada “12” terdapat dua angka, yaitu angka 1 dan angka 2 sedangkan 12 itu sendiri merupakan bilangan yang melambangkan suatu kuantitas (panjang, berat, umur dll). Jadi “1” dan “2” tersebut merupakan angka-angka yang digunakan untuk melambangkan bilangan “12”,  tentu saja angka-angka 1 dan 2 juga dapat digunakan untuk melambangkan bilangan-bilangan yang lain tergantung dari banyaknya angka “1” dan “2” yang digunakan dan juga tergantung posisi peletakan angka-angka tersebut. Kesimpulannya adalah terdapat 10 angka, yaitu mulai dari 0, 1, 2, … sampai 9. Oh ya 10 angka yang aku maksudkan tersebut adalah pada sistem penulisan latin, tentu saja masih banyak sistem penulisan yang lain (seperti Arab, Jawa, Cina, Romawi, Babilonia dll). Kalimat “SIRNA ILANG KERTANING BUMI”  melambangkan tahun runtuhnya kerajaan Majapahit, yaitu tahun 1400. Di sastra Jawa dikenal yang namanya SENGKALA. Sengkala merupakan perlambangan angka dengan kata-kata tetapi sepertinya penggunaan sengkala sebatas pada pelambangan TAHUN, tidak tahu penggunaan sengkala untuk menyatakan kuantitas yang lain. Ada dua macam sengkala, yaitu CANDRA SENGKALA untuk menyatakan tahun Jawa dan Surya Sengkala untuk menyatakan tahun Masehi. Seperti halnya angka dan bilangan, banyak orang yang menganggap kalau candra sengkala sama dengan surya sengkala (mungkin karena mereka hanya fokus pada kata sengkala). SIRNA ILANG KERTANING BUMI ——–> ada 4 kata. 1400  ———- > ada 4 angka. Setiap kata memang melambangkan suatu angka. Sebelum kita cari tahu makna dari masing-masing kata, marilah kita amati bilangan tahun 1400. Pada bilangan 1400 terdapat dua angka yang kembar yaitu angka “0”, jadi tentu saja pada sengkala tersebut seharusnya terdapat dua kata yang sama. Kita tahu bahwa arti kata “sirna” melambangkan ketidakadaan (sirna, lenyap, hilang dll) begitu juga kata “ilang” atau hilang, jadi kata sirna dan ilang melambangkan hal yang sama atau dengan kata lain kata sirna dan hilang adalah sama. Maka bisa kita tebak kalau kata sirnadan ilang melambangkan ketidakadaan alias “nol”. SIRNA ILANG KERTANING BUMI    (0)         (0)              (?)                (?) Melambangkan apakah kata kerta (kata dasar dari kertaning) dan bumi?. Sepertinya lebih mudah kalau kita membahas kata bumi lebih dulu karena kita sama-sama tahu kalau bumi itu hanya ada satu (fakta sementara), jadi berarti kata bumi melambangkan 1 dan tentu saja kesimpulan akhirnya kata kerta melambangkan 4. SIRNA ILANG KERTANING BUMI   (0)         (0)              (4)                (1) Jadi pembacaan sengkala arahnya dibalik. Berikut kata-kata yang digunakan dalam sengkala untuk melambangkan suatu bilangan, diantaranya : Eka,  Bumi, buana,  surya, candra, tunggal, ika, (p)raja, manunggal, Negara, dll 1 (Siji) Satu Dwi, Tangan, Sikil, Kuping, Mata, Netra, Panembah, Bekti, dll 2 (Loro) Dua Tri, Krida, Gebyar, dll 3 (Telu) Tiga Catur, Kerta, dll 4 (Papat) Empat Panca, Astra, Tumata, dll 5 (Lima) Lima Sad, Rasa, bremana, anggata, dll 6 (Enem) Enam Sapta, Sinangga, Sapi, dll 7 (Pitu) Tujuh Astha, Naga, Salira, Manggala, dll 8 (Wolu) Delapan Nawa, Hanggatra, Bunga, dll 9 (Sanga) Sembilan Dasa, Ilang, Sirna, Sonya, dll 10 (Sepuluh) Sepuluh Sata 100 (Satus) Seratus Sasra 1000 (Séwu) Seribu Saleksa 100000 (Satus éwu) Seratus Ribu Sayuta 1000000 (Sayuta) Sejuta Contoh sengkala-sengkala yang lain, diantaranya : 1.      Lambang kraton Yogya –> “DWI NAGA RASA TUNGGAL” melambangkan tahun 1682. 2.      Kabupaten Banyumas –> “BEKTINING MANGGALA TUMATANING PRAJA” melambangkan tahun 1582. 3.      Kabupaten Sleman —> “RASA MANUNGGAL HANGGATRA NEGARA” melambangkan tahun 1916 (Masehi). 4.      Kabupaten Sleman —> “ANGGATA CATUR SALIRA TUNGGAL” melambangkan tahun 1846 (tahun Jawa). 5.      Kabupaten Pati —> “KRIDANING PANEMBAH GEBYARING BUMI” melambangkan tahun 1323. Semua sengkala-sengkala di atas melambangkan atau menunjukkan tahun berdirinya masing-masing daerah. Bahkan ada surya sengkala baru yang cukup bagus untuk menandai peristiwa-peristiwa yang menimpa bangsa dan negara kita di tahun 2006, yaitu “RASA SONYA ILANGING PANEMBAH” yang dapat diartikan“HILANGNYA KESADARAN BERBAKTI”. Aksara Jawa yang dalam hal ini adalah Hanacaraka (dikenal juga dengan nama Carakan) adalah aksara turunan aksara Brahmi yang digunakan atau pernah digunakan untuk penulisan naskah-naskah berbahasa Jawa, Makasar, Madura, Melayu, Sunda, Bali, dan Sasak. Bentuk Hanacaraka yang sekarang dipakai sudah tetap sejak masa Kesultanan Mataram (abad ke-17) tetapi bentuk cetaknya baru muncul pada abad ke-19. Aksara ini adalah modifikasi dari aksara Kawi dan merupakan abugida. Hal ini bisa dilihat dengan struktur masing-masing huruf yang paling tidak mewakili dua buah huruf (aksara) dalam huruf latin. Sebagai contoh aksara Ha yang mewakili dua huruf yakni H dan A, dan merupakan satu suku kata yang utuh bila dibandingkan dengan kata “hari”. Aksara Na yang mewakili dua huruf, yakni N dan A, dan merupakan satu suku kata yang utuh bila dibandingkan dengan kata “nabi”. Dengan demikian, terdapat penyingkatan cacah huruf dalam suatu penulisan kata apabila dibandingkan dengan penulisan aksara Latin. 2.3  Penulisan Aksara Jawa Pada bentuknya yang asli, aksara Jawa Hanacaraka ditulis menggantung (di bawah garis), seperti aksara Hindi. Namun pada pengajaran modern menuliskannya di atas garis. Aksara Hanacaraka memiliki 20 huruf dasar, 20 huruf pasangan yang berfungsi menutup bunyi vokal, 8 huruf “utama” (aksara murda, ada yang tidak berpasangan), 8 pasangan huruf utama, lima aksara swara (huruf vokal depan), lima aksara rekan dan lima pasangannya, beberapa sandhangan sebagai pengatur vokal, beberapa huruf khusus, beberapa tanda baca, dan beberapa tanda pengatur tata penulisan (pada). 2.4  Asal Mula Huruf Jawa Menurut Cerita Rakyat Rakyat Mendang Kamulan sangat bersukacita. Mereka telah bebas dari keangkaramurkaan. Maka Ajisaka diangkat menjadi Raja Mendang Kamulan, bergelar Prabu Ajisaka. Prabu Ajisaka memerintah dengan adil dan bijaksana. Sang prabu juga berusaha agar rakyatnya menjadi pandai. Rayat diajari bercocok tanam, membuat saluran air, membangun gedung, memajukan perdagangan, mengembangkan pelayaran, dan berbagai ilmu pengetahuan lain. Lebih daripada itu, di Mendang Kamulan tidak ada lagi kesewenang-wenangan. Rakyat hidup aman dan tentram. Sebelum keadaan menjadi demikian, Kerajaan itu diperintah oleh Prabu Dewatacengkar, seorang raja yang amatlah kejam. Yang sangat mengerikan adalah bahwa Prabu Dewatacengkar suka memakan daging manusia. Setiap hari, patih Mendang Kamulan harus menyediakan seorang manusia untuk menjadi santapan Sang Prabu. Rakyat Mendang Kamulan sangat menderita. Kehidupan mereka memang masih terbelakang. Mereka belum mengenal ilmu pengetahuan. Bahkan, mereka belum mengenal huruf. Tersebutlah seorang pengembara dari negeri seberang, bernama Ajisaka. Ia datang ke Pulau Jawa, bermaksud menyebarkan pengetahuan. Berita mengenai kelaliman Prabu Dewatacengkar telah sampai pula ke negeri seberang. Karena itu, Ajisaka bermaksud pula untuk menolong rakyat Mendang Kamulan dari kesewenang-wenangan rajanya. Setelah tiba di Mendang Kamulan, Ajisaka ingin segera menghadap Prabu Dewatacengkar. Patih Mendang Kamulan mencegahnya. Ia merasa kasihan bahwa pemuda setampan itu akan mati menjadi santapan rajanya. Akan tetapi, Ajisaka berkeras hati untuk menghadap. Katanya, “Paman patih tidak usah khawatir. Mudah-mudahan Tuhan Yang Maha Agung melindungi kita semua. Lagi pula, bukankah sampai sesiang ini Paman belum menyajikan seseorang kepada Baginda?”. Ajisaka dibawa menghadap Prabu Dewatacengkar. Melihat seorang pemuda yang berbadan kekar, Sang Prabu sangat bergembira. Segera Sang Prabu turun dari singgasana dan menghapiri Ajisaka. Ketika Prabu Dewatacengkar akan mengangkat tubuhnya, Ajisaka berkata, ”sebelum Baginda menyantap hamba, perkenankanlah hamba mengajukan sebuah permintaan”. “Katakan apa yang kamu minta?” sahut Sang Prabu dengan tidak sabar. Kemudian sambil menoleh ke arah patih, Sang Prabu berkata, “Kamu akan mendapat hadiah, Paman Patih. Sudah lama aku tidak menyantap manusia semuda ini. Akhir-akhir ini hanya orang-orang tua yang kamu sajikan. Dagingnya sudah tak enak lagi”. “Hamba mohon diberi sejengkal tanah,” kata Ajisaka. “Untuk apa?” tanya Sang Prabu. “Bukankah kamu akan segera mati?”. “Sepeninggal hamba, tanah itu ditempati oleh kerabat hamba. Dan lagi, tanah yang hamba minta tidak luas”. “Apakah seluas alun-alun? Atau seluas desa?” Tanya Sang Prabu. “Hanya seluas ikat kepala hamba,” jawab Ajisaka. ”Ha-ha-ha-ha-ha,” Prabu Dewatacengkar tertawa tergelak-gelak. Konon jika Prabu Dewatacengkar tertawa, suaranya akan menggelegar, seperti suara guruh. “Seribu kali luas ikat kepalamu akan kuberi,” sambungnya. Ajisaka mulai mengurai ikat kepalanya. Ia memegang salah satu ujungnya. Ujung yang lain dipegang oleh Prabu Dewatacengkar. Sang Prabu mundur selangkah demi selangkah untuk membentangkan ikat kepala itu. Terjadilah suatu keajaiban. Ikat kepala itu ternyata dapat membentang dan membentang, makin lama makin luas. Alun-alun kerajaan Mandang Kamulan tertutup oleh ikat kepala itu. Ketika Prabu Dewatacengkar sudah mundur sampai di tepi pantai selatan, Ajisaka mengibaskan ikat kepalanya. Maka terceburlah sang prabu ke laut selatan dan menjelma menjadi seekor buaya putih mulai saat itu Ajisaka menggantikan jabatan Prabu di Mendang Kamulan. Kini ia menjadi seorang Prabu di Mendang Kamulan. Sampai pada suatu hari, Prabu Ajisaka ingat bahwa keris pusakanya tertinggal di Gunung Kendeng. Ingatannya melayang ke masa lalu, sebelum ia pergi ke kerajaan Mendang Kamulan. Waktu itu ia pergi bersama dengan 2 orang pengiringnya, ialah Dora dan Sembada. Ajisaka ingin pergi ke Mendang Kamulan tanpa membawa senjata. Ia meminta Sembada untuk tinggal di daerah pegunungan Kendeng, dan menjaga keris pusakanya. Sedangkan Dora diperintahkan untuk mengikutinya. “Kelak aku sendiri yang akan mengambil keris pusaka ini. Jangan sekali-kali kamu berikan kepada orang lain,” pesan Ajisaka. Sembada berjanji untuk menjunjung tinggi perintah itu. Maka sekarang Dora diperintahkan untuk mengambil keris pusaka itu. Prabu Ajisaka berpesan, “Katakan pada Sembada bahwa aku memerintahkan kamu menjemput kuris pusaka, dan mengajak Sembada menghadap ke Mendang Kamulan”.  Sembada tidak bersedia menyerahkan keris itu. Katanya, “Bukankah dulu Raden Ajisaka berjanji untuk mengambil sendiri keris pusaka ini? Aku juga mendapat pesan untuk tidak menyerahkan keris ini pada orang lain”. “Memang benar,” ujar Dora. “Tetapi pada saat ini baginda sedang sibuk. Banyak urusan kerajaaan yang harus diselesaikannya. Karena itu, akulah yang diutusnya. Aku mengemban tugas seorang raja.” Sembada tetap tidak mau menyerahkan keris pusaka itu. Ini menyebabkan Dora menjadi marah. “Ingat,” katanya “Aku adalah duta baginda. Dan aku wajib menjalankan segala perintahnya”. “Aku juga abdinya,” sahut Sembada. “Aku pun wajib untuk menjalankan segala titahnya”. Pertengkaran itu kemudian berkembang menjadi perkelahian. Bahkan akhirnya Dora maupun Sembada menggunakan senjata masing-masing. Keduanya sama-sama sakti. Setelah lama bertarung. Dora dan Sembada bersama-sama gugur. Tidak ada yang kalah , tidak ada yang menang. Prabu Ajisaka yang telah lama menunggu-nunggu kedatangan kedua abdinya menjadi tidak sabar. Dengan pengiring secukupnya, Prabu Ajisaka menyusul ke lereng pegunungan Kendeng. Menyaksikan kedua abdinya yang setia bersama-sama tewas, Prabu Ajisaka sangat sedih. Sang Prabu menyadari bahwa baik Dora maupun Sembada telah menunaikan tugas dengan sebaik-baiknya. Dora benar, karena melaksanakan perntah raja. Sebaliknya, Sembada juga tidak salah, karena telah menjunjung tinggi pesannya. Prabu Ajisaka sendiri yang bersalah. Untuk mengenang dan menghargai jasa kedua abdinya itu, Prabu Ajisaka menggubah sebuah sajak. Sajak itu dimaksudkan untuk mengenang kedua abdinya yang gugur dalam mengemban tugas. Beginilah bunyi sajak itu : “HANA CARAKA DATA SAWALA PADHA JAYANYA MAGA BATHANGA” yang dalam terjemahan secara harafiahnya lebih kurang : “Ada utusan mereka bertengkar sama-sama sakti semua menjadi mayat” Prabu Ajisaka memerintahkan rakyatnya menghafalkan saja itu. Dengan demikian kesetiaan Dora dan Sembada kepada tugas akan selalu dikenang. Demikian pula diharapkan agar rakyat Mendang Kamulan dan segenap keturunannya tidak akan mengulangi kesalahan yang sama. Untuk setiap suku kata pada sajak itu, dibuatkan suatu tanda khusus. Ini kelak menjadi urut-urutan huruf yang kemudian dikenal sebagai huruf Jawa. Sampai saat ini, orang Jawa masih menggunakan huruf itu. BAB III KESIMPULAN 3.1  Kesimpulan Perkembangan aksara Jawa juga ada kaitan dengan perkembangan bahasa Jawa yang lahir sebagai alat komunikasi masyarakt. Aksara Jawa Kuno sulit diketahui secara pasti kapan masa lahir, masa jaya, dan masa peralihan aksara jawa dan aksara jawa baru. Karena, hanya sedikit orang yang melakukan penelitian tentang hal ini. 3.2  Saran Aksara Jawa tidak boleh untuk kita lupakan, melainkan harus kita menjaga dan melestarikan aksara. Aksara Jawa dan aksara Lain memiliki keunikan tersendiri mengenai bentuk, dan cara penuliasannya. Aksara Jawa Kuno BAB I PENDAHULUAN 1.1    Latar Belakang Aksara jawa merupakan salah satu peninggalan budaya yang tak ternilai harganya. Bentuk aksara dan seni pembuatnya pun menjadi suatu peninggalan yang patut untuk dilestarikan. Akasara Jawa ini digunakan di daerah Sunda dan Bali, meskipun memiliki sedikit perbedaan dalam penulisannya. Namun sebenarnya aksara yang digunakan sama. Orang jawa sudah mempunyai bentuk penulisan aksara, yang di anggap adi luhung leluhur bangsa jawa hingga kini ( Slamet Riyadi 1996:1). Sebelum itu, tidak dapt bukti yang menunjukan bagsa jawa memiliki aksaranya sendiri ( Poerbatjaraka 1952: VII & Slamet Riyadi 1985:15). 2.1 Tujuan Tujuan Pembuatan Makalah Bilangan dan Angka pada zaman Jawa Kuno adalah : 1.      Mengetahui Bilangan dan Angka pada zama Jawa Kuno yang digunakan pada zaman sebelum masehi. 2.      Menambah wawasan terhadap pengenalan hasil karya Matematika menurut budaya Jawa. 3.      Sebagai pelegkap nilai Pendidikan Matematika 1. BAB II PEMBAHASAN 2.1  Aksara Bahasa tulis merupakan salah satu yang membedakan antara masa awal sejarah dan prasejarah. Perkembangan bahasa tulis bermula sejak sebelum masehi, dimana awalnya manusia menggunakan bahasa gambar untuk berkomunikasi. Perkembangan cara berkomunikasi melalui tanda dan gambar berkembang terus sekitar tahun 3100 SM, bangsa Mesir menggunakan pictograph sebagai simbol-simbol yang menggambarkan sebuah objek. Komunikasi dengan menggunakan gambar berkembang dari pictograph hingga ideograph, berupa simbol-simbol yang mereprentasikan gagasan yang lebih kompleks serta konsep abstrak yang lain. Perpindahan yang mendasar dari bahasa gambar dan tanda yang dibunyikan (pictograph, ideograph-menunjukan beda serta gagasan) hingga bahasa tulis yang dapat dibunyikan dan memiliki arti (phonograph-setiap tanda atau huruf menandakan bunyi). Evolusi dari bahasa tulis merupakan salah satu bagian dari perjalanan peradaban manusia guna mencapai kesempurnaan hidup terutama dalam cara berkomunikasi (Sihombing, 2001). 2.2  Aksara Jawa Aksara Jawa yang dalam hal ini adalah aksara turunan aksara Brahmi yang digunakan atau pernah digunakan untuk penulisan naskah-naskah berbahasa Jawa, Makasar, Madura, Melayu, Sunda, Bali, dan Sasak. Bentuk Hanacaraka yang sekarang dipakai sudah tetap sejak masa Kesultanan Mataram (abad ke-17) tetapi bentuk cetaknya baru muncul pada abad ke-19. Aksara ini adalah modifikasi dari aksara Kawi dan merupakan abugida. Hal ini bisa dilihat dengan struktur masing-masing huruf yang paling tidak mewakili dua buah huruf (aksara) dalam huruf latin. Ada Beberapa Aksara, diantaranya : 1.      Huruf Dasar (Aksara Nglegena) Aksara Nglegena adalah aksara inti yang terdiri dari 20 suku kata atau biasa disebut Dentawiyanjana, yaitu: ha, na, ca, ra, ka, da, ta, sa, wa, la, pa, dha, ja, ya, nya, ma, ga, ba, tha, nga 2.      Huruf Pasangan (Aksara Pasangan) Aksara pasangan dipakai untuk menekan vokal konsonan di depannya. Misal, untuk menuliskan mangan sega (makan nasi) akan diperlukan pasangan untuk “se” agar “n” pada mangan tidak bersuara. Tanpa pasangan “s” tulisan akan terbaca manganasega (makanlah nasi). Berikut daftar Aksara Pasangan: 3.      Huruf Utama (Aksara Murda) Aksara Murda yang digunakan untuk menuliskan awal kalimat dan kata yang menunjukkan nama diri, gelar, kota, lembaga, dan nama-nama lain yang kalau dalam Bahasa Indonesia kita gunakan huruf besar. Berikut Aksara Murda serta Pasangan Murda: 4.      Huruf Vokal Mandiri (Aksara Swara) Aksara swara adalah huruf hidup atau vokal utama: A, I, U, E, O dalam kalimat. Biasanya digunakan pada awal kalimat atau untuk nama dengan awalan vokal yang mengharuskan penggunakan huruf besar. 5.      Huruf vokal tidak mandiri (Sandhangan) Berbeda dengan Aksara Swara, Sandangan digunakan untuk vokal yang berada di tengah kata, dibedakan termasuk berdasarkan cara bacanya. 6.      Huruf tambahan (Aksara Rekan) Aksara Rekan adalah huruf yang berasal dari serapan bahasa asing, yaitu: kh, f, dz, gh, z 7.      Aksara bilangan (Aksara Wilangan) Orang Jawa kuno benar-benar menyukai sastra, bahkan untuk menyatakan bilangan-bilangan mereka menggunakan  bahasa (kata) yang indah-indah sebagai pengganti angka. Banyak orang yang mungkin menganggap kalau angka dan bilangan adalah hal yang sama padahal sebenarnya angka dan bilangan adalah hal yang berbeda. Angka tidak lain adalah simbol yang digunakan untuk melambangkan suatu bilangan sedangkan bilangan itu sendiri merupakan suatu obyek yang abstrak. Sedangkan, apa yang nampak (seperti angka, bilangan, kubus dll) hanyalah merupakan upaya untuk melambangkan hal-hal yang abstrak. contoh: 12——-> angka dan mana bilangan pada “12”. Pada “12” terdapat dua angka, yaitu angka 1 dan angka 2 sedangkan 12 itu sendiri merupakan bilangan yang melambangkan suatu kuantitas (panjang, berat, umur dll). Jadi “1” dan “2” tersebut merupakan angka-angka yang digunakan untuk melambangkan bilangan “12”,  tentu saja angka-angka 1 dan 2 juga dapat digunakan untuk melambangkan bilangan-bilangan yang lain tergantung dari banyaknya angka “1” dan “2” yang digunakan dan juga tergantung posisi peletakan angka-angka tersebut. Kesimpulannya adalah terdapat 10 angka, yaitu mulai dari 0, 1, 2, … sampai 9. Oh ya 10 angka yang aku maksudkan tersebut adalah pada sistem penulisan latin, tentu saja masih banyak sistem penulisan yang lain (seperti Arab, Jawa, Cina, Romawi, Babilonia dll). Kalimat “SIRNA ILANG KERTANING BUMI”  melambangkan tahun runtuhnya kerajaan Majapahit, yaitu tahun 1400. Di sastra Jawa dikenal yang namanya SENGKALA. Sengkala merupakan perlambangan angka dengan kata-kata tetapi sepertinya penggunaan sengkala sebatas pada pelambangan TAHUN, tidak tahu penggunaan sengkala untuk menyatakan kuantitas yang lain. Ada dua macam sengkala, yaitu CANDRA SENGKALA untuk menyatakan tahun Jawa dan Surya Sengkala untuk menyatakan tahun Masehi. Seperti halnya angka dan bilangan, banyak orang yang menganggap kalau candra sengkala sama dengan surya sengkala (mungkin karena mereka hanya fokus pada kata sengkala). SIRNA ILANG KERTANING BUMI ——–> ada 4 kata. 1400  ———- > ada 4 angka. Setiap kata memang melambangkan suatu angka. Sebelum kita cari tahu makna dari masing-masing kata, marilah kita amati bilangan tahun 1400. Pada bilangan 1400 terdapat dua angka yang kembar yaitu angka “0”, jadi tentu saja pada sengkala tersebut seharusnya terdapat dua kata yang sama. Kita tahu bahwa arti kata “sirna” melambangkan ketidakadaan (sirna, lenyap, hilang dll) begitu juga kata “ilang” atau hilang, jadi kata sirna dan ilang melambangkan hal yang sama atau dengan kata lain kata sirna dan hilang adalah sama. Maka bisa kita tebak kalau kata sirnadan ilang melambangkan ketidakadaan alias “nol”. SIRNA ILANG KERTANING BUMI    (0)         (0)              (?)                (?) Melambangkan apakah kata kerta (kata dasar dari kertaning) dan bumi?. Sepertinya lebih mudah kalau kita membahas kata bumi lebih dulu karena kita sama-sama tahu kalau bumi itu hanya ada satu (fakta sementara), jadi berarti kata bumi melambangkan 1 dan tentu saja kesimpulan akhirnya kata kerta melambangkan 4. SIRNA ILANG KERTANING BUMI   (0)         (0)              (4)                (1) Jadi pembacaan sengkala arahnya dibalik. Berikut kata-kata yang digunakan dalam sengkala untuk melambangkan suatu bilangan, diantaranya : Eka,  Bumi, buana,  surya, candra, tunggal, ika, (p)raja, manunggal, Negara, dll 1 (Siji) Satu Dwi, Tangan, Sikil, Kuping, Mata, Netra, Panembah, Bekti, dll 2 (Loro) Dua Tri, Krida, Gebyar, dll 3 (Telu) Tiga Catur, Kerta, dll 4 (Papat) Empat Panca, Astra, Tumata, dll 5 (Lima) Lima Sad, Rasa, bremana, anggata, dll 6 (Enem) Enam Sapta, Sinangga, Sapi, dll 7 (Pitu) Tujuh Astha, Naga, Salira, Manggala, dll 8 (Wolu) Delapan Nawa, Hanggatra, Bunga, dll 9 (Sanga) Sembilan Dasa, Ilang, Sirna, Sonya, dll 10 (Sepuluh) Sepuluh Sata 100 (Satus) Seratus Sasra 1000 (Séwu) Seribu Saleksa 100000 (Satus éwu) Seratus Ribu Sayuta 1000000 (Sayuta) Sejuta Contoh sengkala-sengkala yang lain, diantaranya : 1.      Lambang kraton Yogya –> “DWI NAGA RASA TUNGGAL” melambangkan tahun 1682. 2.      Kabupaten Banyumas –> “BEKTINING MANGGALA TUMATANING PRAJA” melambangkan tahun 1582. 3.      Kabupaten Sleman —> “RASA MANUNGGAL HANGGATRA NEGARA” melambangkan tahun 1916 (Masehi). 4.      Kabupaten Sleman —> “ANGGATA CATUR SALIRA TUNGGAL” melambangkan tahun 1846 (tahun Jawa). 5.      Kabupaten Pati —> “KRIDANING PANEMBAH GEBYARING BUMI” melambangkan tahun 1323. Semua sengkala-sengkala di atas melambangkan atau menunjukkan tahun berdirinya masing-masing daerah. Bahkan ada surya sengkala baru yang cukup bagus untuk menandai peristiwa-peristiwa yang menimpa bangsa dan negara kita di tahun 2006, yaitu “RASA SONYA ILANGING PANEMBAH” yang dapat diartikan“HILANGNYA KESADARAN BERBAKTI”. Aksara Jawa yang dalam hal ini adalah Hanacaraka (dikenal juga dengan nama Carakan) adalah aksara turunan aksara Brahmi yang digunakan atau pernah digunakan untuk penulisan naskah-naskah berbahasa Jawa, Makasar, Madura, Melayu, Sunda, Bali, dan Sasak. Bentuk Hanacaraka yang sekarang dipakai sudah tetap sejak masa Kesultanan Mataram (abad ke-17) tetapi bentuk cetaknya baru muncul pada abad ke-19. Aksara ini adalah modifikasi dari aksara Kawi dan merupakan abugida. Hal ini bisa dilihat dengan struktur masing-masing huruf yang paling tidak mewakili dua buah huruf (aksara) dalam huruf latin. Sebagai contoh aksara Ha yang mewakili dua huruf yakni H dan A, dan merupakan satu suku kata yang utuh bila dibandingkan dengan kata “hari”. Aksara Na yang mewakili dua huruf, yakni N dan A, dan merupakan satu suku kata yang utuh bila dibandingkan dengan kata “nabi”. Dengan demikian, terdapat penyingkatan cacah huruf dalam suatu penulisan kata apabila dibandingkan dengan penulisan aksara Latin. 2.3  Penulisan Aksara Jawa Pada bentuknya yang asli, aksara Jawa Hanacaraka ditulis menggantung (di bawah garis), seperti aksara Hindi. Namun pada pengajaran modern menuliskannya di atas garis. Aksara Hanacaraka memiliki 20 huruf dasar, 20 huruf pasangan yang berfungsi menutup bunyi vokal, 8 huruf “utama” (aksara murda, ada yang tidak berpasangan), 8 pasangan huruf utama, lima aksara swara (huruf vokal depan), lima aksara rekan dan lima pasangannya, beberapa sandhangan sebagai pengatur vokal, beberapa huruf khusus, beberapa tanda baca, dan beberapa tanda pengatur tata penulisan (pada). 2.4  Asal Mula Huruf Jawa Menurut Cerita Rakyat Rakyat Mendang Kamulan sangat bersukacita. Mereka telah bebas dari keangkaramurkaan. Maka Ajisaka diangkat menjadi Raja Mendang Kamulan, bergelar Prabu Ajisaka. Prabu Ajisaka memerintah dengan adil dan bijaksana. Sang prabu juga berusaha agar rakyatnya menjadi pandai. Rayat diajari bercocok tanam, membuat saluran air, membangun gedung, memajukan perdagangan, mengembangkan pelayaran, dan berbagai ilmu pengetahuan lain. Lebih daripada itu, di Mendang Kamulan tidak ada lagi kesewenang-wenangan. Rakyat hidup aman dan tentram. Sebelum keadaan menjadi demikian, Kerajaan itu diperintah oleh Prabu Dewatacengkar, seorang raja yang amatlah kejam. Yang sangat mengerikan adalah bahwa Prabu Dewatacengkar suka memakan daging manusia. Setiap hari, patih Mendang Kamulan harus menyediakan seorang manusia untuk menjadi santapan Sang Prabu. Rakyat Mendang Kamulan sangat menderita. Kehidupan mereka memang masih terbelakang. Mereka belum mengenal ilmu pengetahuan. Bahkan, mereka belum mengenal huruf. Tersebutlah seorang pengembara dari negeri seberang, bernama Ajisaka. Ia datang ke Pulau Jawa, bermaksud menyebarkan pengetahuan. Berita mengenai kelaliman Prabu Dewatacengkar telah sampai pula ke negeri seberang. Karena itu, Ajisaka bermaksud pula untuk menolong rakyat Mendang Kamulan dari kesewenang-wenangan rajanya. Setelah tiba di Mendang Kamulan, Ajisaka ingin segera menghadap Prabu Dewatacengkar. Patih Mendang Kamulan mencegahnya. Ia merasa kasihan bahwa pemuda setampan itu akan mati menjadi santapan rajanya. Akan tetapi, Ajisaka berkeras hati untuk menghadap. Katanya, “Paman patih tidak usah khawatir. Mudah-mudahan Tuhan Yang Maha Agung melindungi kita semua. Lagi pula, bukankah sampai sesiang ini Paman belum menyajikan seseorang kepada Baginda?”. Ajisaka dibawa menghadap Prabu Dewatacengkar. Melihat seorang pemuda yang berbadan kekar, Sang Prabu sangat bergembira. Segera Sang Prabu turun dari singgasana dan menghapiri Ajisaka. Ketika Prabu Dewatacengkar akan mengangkat tubuhnya, Ajisaka berkata, ”sebelum Baginda menyantap hamba, perkenankanlah hamba mengajukan sebuah permintaan”. “Katakan apa yang kamu minta?” sahut Sang Prabu dengan tidak sabar. Kemudian sambil menoleh ke arah patih, Sang Prabu berkata, “Kamu akan mendapat hadiah, Paman Patih. Sudah lama aku tidak menyantap manusia semuda ini. Akhir-akhir ini hanya orang-orang tua yang kamu sajikan. Dagingnya sudah tak enak lagi”. “Hamba mohon diberi sejengkal tanah,” kata Ajisaka. “Untuk apa?” tanya Sang Prabu. “Bukankah kamu akan segera mati?”. “Sepeninggal hamba, tanah itu ditempati oleh kerabat hamba. Dan lagi, tanah yang hamba minta tidak luas”. “Apakah seluas alun-alun? Atau seluas desa?” Tanya Sang Prabu. “Hanya seluas ikat kepala hamba,” jawab Ajisaka. ”Ha-ha-ha-ha-ha,” Prabu Dewatacengkar tertawa tergelak-gelak. Konon jika Prabu Dewatacengkar tertawa, suaranya akan menggelegar, seperti suara guruh. “Seribu kali luas ikat kepalamu akan kuberi,” sambungnya. Ajisaka mulai mengurai ikat kepalanya. Ia memegang salah satu ujungnya. Ujung yang lain dipegang oleh Prabu Dewatacengkar. Sang Prabu mundur selangkah demi selangkah untuk membentangkan ikat kepala itu. Terjadilah suatu keajaiban. Ikat kepala itu ternyata dapat membentang dan membentang, makin lama makin luas. Alun-alun kerajaan Mandang Kamulan tertutup oleh ikat kepala itu. Ketika Prabu Dewatacengkar sudah mundur sampai di tepi pantai selatan, Ajisaka mengibaskan ikat kepalanya. Maka terceburlah sang prabu ke laut selatan dan menjelma menjadi seekor buaya putih mulai saat itu Ajisaka menggantikan jabatan Prabu di Mendang Kamulan. Kini ia menjadi seorang Prabu di Mendang Kamulan. Sampai pada suatu hari, Prabu Ajisaka ingat bahwa keris pusakanya tertinggal di Gunung Kendeng. Ingatannya melayang ke masa lalu, sebelum ia pergi ke kerajaan Mendang Kamulan. Waktu itu ia pergi bersama dengan 2 orang pengiringnya, ialah Dora dan Sembada. Ajisaka ingin pergi ke Mendang Kamulan tanpa membawa senjata. Ia meminta Sembada untuk tinggal di daerah pegunungan Kendeng, dan menjaga keris pusakanya. Sedangkan Dora diperintahkan untuk mengikutinya. “Kelak aku sendiri yang akan mengambil keris pusaka ini. Jangan sekali-kali kamu berikan kepada orang lain,” pesan Ajisaka. Sembada berjanji untuk menjunjung tinggi perintah itu. Maka sekarang Dora diperintahkan untuk mengambil keris pusaka itu. Prabu Ajisaka berpesan, “Katakan pada Sembada bahwa aku memerintahkan kamu menjemput kuris pusaka, dan mengajak Sembada menghadap ke Mendang Kamulan”.  Sembada tidak bersedia menyerahkan keris itu. Katanya, “Bukankah dulu Raden Ajisaka berjanji untuk mengambil sendiri keris pusaka ini? Aku juga mendapat pesan untuk tidak menyerahkan keris ini pada orang lain”. “Memang benar,” ujar Dora. “Tetapi pada saat ini baginda sedang sibuk. Banyak urusan kerajaaan yang harus diselesaikannya. Karena itu, akulah yang diutusnya. Aku mengemban tugas seorang raja.” Sembada tetap tidak mau menyerahkan keris pusaka itu. Ini menyebabkan Dora menjadi marah. “Ingat,” katanya “Aku adalah duta baginda. Dan aku wajib menjalankan segala perintahnya”. “Aku juga abdinya,” sahut Sembada. “Aku pun wajib untuk menjalankan segala titahnya”. Pertengkaran itu kemudian berkembang menjadi perkelahian. Bahkan akhirnya Dora maupun Sembada menggunakan senjata masing-masing. Keduanya sama-sama sakti. Setelah lama bertarung. Dora dan Sembada bersama-sama gugur. Tidak ada yang kalah , tidak ada yang menang. Prabu Ajisaka yang telah lama menunggu-nunggu kedatangan kedua abdinya menjadi tidak sabar. Dengan pengiring secukupnya, Prabu Ajisaka menyusul ke lereng pegunungan Kendeng. Menyaksikan kedua abdinya yang setia bersama-sama tewas, Prabu Ajisaka sangat sedih. Sang Prabu menyadari bahwa baik Dora maupun Sembada telah menunaikan tugas dengan sebaik-baiknya. Dora benar, karena melaksanakan perntah raja. Sebaliknya, Sembada juga tidak salah, karena telah menjunjung tinggi pesannya. Prabu Ajisaka sendiri yang bersalah. Untuk mengenang dan menghargai jasa kedua abdinya itu, Prabu Ajisaka menggubah sebuah sajak. Sajak itu dimaksudkan untuk mengenang kedua abdinya yang gugur dalam mengemban tugas. Beginilah bunyi sajak itu : “HANA CARAKA DATA SAWALA PADHA JAYANYA MAGA BATHANGA” yang dalam terjemahan secara harafiahnya lebih kurang : “Ada utusan mereka bertengkar sama-sama sakti semua menjadi mayat” Prabu Ajisaka memerintahkan rakyatnya menghafalkan saja itu. Dengan demikian kesetiaan Dora dan Sembada kepada tugas akan selalu dikenang. Demikian pula diharapkan agar rakyat Mendang Kamulan dan segenap keturunannya tidak akan mengulangi kesalahan yang sama. Untuk setiap suku kata pada sajak itu, dibuatkan suatu tanda khusus. Ini kelak menjadi urut-urutan huruf yang kemudian dikenal sebagai huruf Jawa. Sampai saat ini, orang Jawa masih menggunakan huruf itu. BAB III KESIMPULAN 3.1  Kesimpulan Perkembangan aksara Jawa juga ada kaitan dengan perkembangan bahasa Jawa yang lahir sebagai alat komunikasi masyarakt. Aksara Jawa Kuno sulit diketahui secara pasti kapan masa lahir, masa jaya, dan masa peralihan aksara jawa dan aksara jawa baru. Karena, hanya sedikit orang yang melakukan penelitian tentang hal ini. 3.2  Saran Aksara Jawa tidak boleh untuk kita lupakan, melainkan harus kita menjaga dan melestarikan aksara. Aksara Jawa dan aksara Lain memiliki keunikan tersendiri mengenai bentuk, dan cara penuliasannya. Dasa Aksara sumber kekuatan alam Dasa Aksara yang merupakan 10 hurup suci sumber kekuatan alam Semoga tiada halangan. Ini merupakan wejangan yang teramat mulia, diceritakan dalam setiap tubuh manusia terdapat hurup – urup yang sangat disucikan, diceritakan pula bahwa Dewa - dewa dari hurup suci tersebut bersatu menjadi sang hyang ‘dasa aksara’. Dasa aksara merupakan sepuluh hurup utama dalam alam ini yang merupakan simbol dari penguasa alam jagat raya dan sangat erat hubungannya dengan dewata nawasanga. Dari sepuluh hurup bersatu menjadi panca brahma (lima hurup suci untuk menciptakan dan menghancurkan), panca brahma menjadi tri aksara(tiga hurup), tri aksara menjadi eka aksara (satu hurup). Ini hurupnya: “OM”. Bila sudah hafal dengan pengucapan hurup suci tersebut agar selalu di ingat dan diresapi, karena ini merupakan sumber dari kekuatan alam semesta yang terletak didalam tubuh kita (bhuana alit) ataupun dalam jagat raya ini (bhuana agung) . Begini caranya menyatukan ataupun menempatkan sang hyang dasa aksara dalam badan ini. Yang pertama sang hyang sandhi reka yang terletak dalam badan kita ini. Beliau bertapa-beryoga sehingga beliau menjelma menjadi sang hyang eka jala resi. Sang hyang eka jala rsi beryoga muncul sang hyang ketu dan sang hyang rau. Sang hyang rau menciptakan kala (waktu), kegelapan, niat jahat yang sangat banyak, sedangkan sang hyang ketu menciptakan tiga aksara yang sangat berguna, diantaranya wreasta (ha, na, ca, ra, ka, da, ta, sa, wa, la, ma, ga, ba, nga, pa, ja, ya, nya), beserta swalalita dan modre. Sehingga jumlah hurupnya adalah dua puluh hurup. Aksara modre bersatu dengan sembilan hurup wreasta yaitu dari ha –wa, yang kemudian disebut dasa sita. Aksara swalelita, bersatu dengan sembilan hurup wreasta lainnya yaitu dari la – nya, yang kemudian disebut ‘dasa sila’ dan ‘dasa bayu’. Bertemu ketiga induk dari aksara suci tersebut; dasa sita, dasa sila, dasa bayu menjadi ‘dasa aksara’. Kedelapan belas aksara ini dapat dirangkaikan menjadi suatu kalimat untuk memudahkan menghapalkannya, yakni: Hana caraka gata mangaba sawala pada jayanya. Artinya: ada (dua orang) hamba berpengalaman membawa surat, sama perwiranya. Tetapi ada pula yang menulis aksara ini sebagai berikut: Hana caraka dhata sawala pada jayanya magabathanga. Artinya: Ada (dua) prajurit berkelahi, sama saktinya (akhirnya) keduanya menjadi mayat. Kedelapan belas aksara ini merupakan wreastra, yakni aksara yang tampak dan dapat diajarkan kepada siapa saja. Sedangkan aksara yang tidak tampak yang terdiri atas dua buah aksara disebut swalalita yaitu Ah dan Ang; merupakan aksara yang tidak boleh diajarkan kepada sembarang orang. Kedua aksara swalalita ini dilengkapi dengan pangangge sastra, yaitu kelengkapan aksara berupa ardha-candra berbentuk bulan sabit, windu yang melambangkan matahari berbentuk bulatan dan nada melambangkan bintang yang dilukis sebagai segi tiga. Ketiga pangangge sastra ini sering dipasangkan dengan aksara huruf hidup: a, i, u, e, o sehingga dibaca menjadi: ang, eng, ing, ong, dan ung. Suku kata ini disebut: ang-kara, eng-kara, ing-kara, ong-kara, dan ung-kara. Bentuk seperti ini disebut modre. Kelengkapan ketiga aksara swalalita ini sering dihubungkan dengan kekuatan dan simbol dari dewa, sehingga bentuk windu adalah lambang agni, Dewa Brahma, sama dengan aksara Ang. Bentuk ardha-candra adalah lambang air, Dewa Wisnu sama dengan aksara Ung. Dan bentuk nada adalah lambang udara, Dewa Siwa sama dengan aksara Mang. Ketiga aksara ini jika disatukan akan menjadi Ang-Ung-Mang atau A-U-M yang dibaca Aum atau Om. Di Bali diucapkan Ong. Aksara Ong-kara inilah sumber dari semua aksara, sehingga disebut wija-aksara, aksara yang maha suci, lambang Dewa Trimurti. Kedudukan kedelapan belas aksara Bali tersebut di dalam tubuh manusia atau bhuana alit adalah sebagai berikut: 1.Ha di ubun-ubun 2.Na di antara kedua alis 3.Ca di dalam kedua mata 4.Ra di kedua telinga 5.Ka di dalam hidung 6.Da di dalam mulut 7.Ta di dalam dada 8.Sa di tangan (lengan) kanan 9.Wa di tangan (lengan) kiri 10.La di hidung 11.Ma di dalam dada kanan 12.Ga di dalam dada kiri 13.Ba di pusar 14.Nga di dalam alat kelamin 15.Pa di dalam pantat (anus) 16.Ja di kedua tungkai (kaki) 17.Ya di tulang belakang 18.Nya di tulang ekor Kelengkapan atau pangangge aksara mempunyai kedudukan atau tempat pula di dalam tubuh manusia, yakni: 1.Ulu di kepala (dalam otak) 2.Taling di hidung 3.Surang di rambut 4.Nania di lengan (tangan) 5.Wisah di telinga 6.Pepet di batok kepala 7.Cecek di lidah 8.Guwung di kulit 9.Suku di tungkai (kaki) 10.Carik di persendian 11.Pamada di alur jantung ini merupakan maksud/arti dari sastra wreastra, dibaca dari belakang. diantaranya; nyaya, berarti sang Hyang Pasupati, tuhan japa, berarti sang hyang mantra, ngaba, berarti Sang Hyang guna, gama, berarti kekal, abadi, lawa, berarti manusia sata, berarti hewan dan binatang daka, berarti pendeta, nabi, orang suci raca, berarti tumbuhan naha, berarti moksa, nirvana ini pertemuan sastra yang delapan belas (wreastra) , bertemu ujung dengan pengkalnya menjadi dasa aksara, diantaranya; ha – nya menjadi sa na – ya menjadi na ca – ja menjadi ba ra – pa menjadi ma ka – nga menjadi ta da – ba menjadi si ta – ga menjadi a sa – ma menjadi wa wa – la menjadi i & ya begini cara menempatkan sang hyang dasa aksara didalam badan, yang merupakan linggih (stana) dewata nawasanga di dalam tubuh manusia, diantaranya; sa ditempatkan di jantung, dewa Iswara. ba ditempatkan di hati, dewa Brahma. ta ditempatkan di kambung, dewa Mahadewa. a ditempatkan di empedu, dewa Wisnu. I ditempatkan di dasar hati, dewa Siwa. na ditempatkan di paru - paru, dewa Maheswara. ma ditempatkan di usus halus, dewa Rudra. si ditempatkan di ginjal, dewa Sangkara. wa ditempatkan di pancreas, dewa Sambhu. ya ditempatkan di ujung hati, Dewa Siwa. Ada pula yang memberikan ulasan tentang dasa aksara ini bahwa setiap aksara itu mempunyai arti sendiri-sendiri, yaitu: Sa berarti satu Ba berarti bayu Ta berarti tatingka A berarti awak I berarti idep Nama berarti hormat Siwa berarti Siwa Ya berarti yukti Dengan pengertian seperti itu, maka arti dari dasa aksara ini adalah orang yang mempunyai tingkah laku dan pikiran (idep) yang luhur saja yang mampu mempergunakan beyu kekuatan dari Siwa. Dengan menyatukan tingkah laku dan pikirannya dia akan mampu mempergunakan dasa bayu untuk kesehjateraan buana alit dan buana agung. Dasa aksara tersebut terbentuk dari dua jenis aksara suci, yaitu panca tirta dan panca brahma. yang disebut panca tirta, adalah sebagai berikut: 1.sang sebagai tirta sanjiwani, untuk pangelukatan (membersihkan). 2.Bang sebagai tirta kamandalu, untuk pangeleburan (menghancurkan). 3.Tang merupakan tirta kundalini, utuk pemunah (menghilangkan). 4.Ang merupakan tirta mahatirta, untuk kasidian (agar sakti). 5.Ing merupakan tirta pawitra, untuk pangesengan (membakar). Ini yang dikatakan panca brahma, berada dalam diri manusia. Ini aksaranya; 1.Nang disimpan di suara. 2.Mang disimpan di tenaga 3.Sing disimpan di hati/perasaan 4.Wang disimpan di pikiran 5.Yang disimpan di nafas.  Kemudian balikkan hurup tersebut: 1.Yang disimpan di jiwa 2.Wang disimpan di guna/aura 3.Sing disimpan di pangkal tenggorokan 4.Mang disimpan di lidah 5.Nang disimpan di mulut Bila Dasa aksara diringkas, aksara yang ada di panca tirtha dipasangkan dengan aksara panca brahma akan muncul Sang Hyang Panca Aksara. Inilah panca aksara tersebut: Sa + Na menjadi Mang Ba + Ma menjadi Ang Ta + Si menjadi Ong A + Wa menjadi Ung I + Ya menjadi Yang panca brahma dan panca tirta diringkas menjadi tri aksara (a, u, ma). Setelah itu baru turun arda candra (bulan sabit), windu (lingkaran) dan nada (titik). Baru boleh di ucapkan sang, bang, tang, ang, ing, nang, mang, sing, wang, yang. Jika panca tirtha digabung dengan panca brahma ditambah dengan tri aksara dan eka aksara akan terjadi catur dasa aksara. Catur dasa aksara ini terdiri atas: sa-ba-ta-a-i ditambah na-ma-si-wa-ya, serta digabung dengan ang-ung-mang dan ong-kara yang erat kaitannya dengan catur-dasa-bayu, suatu kekuatan yang ada di dalam buana alit dan buana agung, yang memungkinkan manusia dan dunia hidup dengan wajar. Ini menyimpan Rwa bhineda (dua sisi dunia), ini suaranya; Ong Ung. Ong di hati putih, ung di hati hitam. Ung di empedu, ong di pankreas. Ong di dubur, ung di usus. lafalkan aksara tersebut lalu letakkan dalam tubuh kita dan alam semesta. Ini rangkuman intisari dari sastra yang berjumlah lima hurup, yang digunakan untuk memuja tuhan, memanggil, menghaturkan persembahan, memohon anugrah dari tuhan YME, diantaranya: mantra untuk memuja tuhan, Mang Ang Ong Ung Yang. mantra untuk memanggil agar tuhan berkenan hadir, Ang Ong Ung Yang Mang  mantra untuk mempersembahan sesajen jamuan dari kita, Ong Ung Yang Mang Ang  mantra untuk memohon anugrah dari tuhan YME, Ung Yang Mang Ang Ong Ini suara inti sari; ekam evam dwityam Brahman, disebut ONG. Berupa api rwa bhineda Ang, berupa air rwa bineda Ah. dasar mantra antuk tri aksara; Mang Ang Ung  kemulan mantra; Ang Ung Mang  pengastiti widhi dewa bethara; Ung Mang Ang  iki pengeraksa jiwa antuk catur aksara; Mang Ang Ung Ong  pengundang bhuta dengen antuk kahuripan; Ang Ung Ong Mang  pemageh bayu ring raga antuk catur resi; Ung Ong Mang Ang  pangemit bayu antuk catur dewati; Ong Mang Ang Ung Menurut Lontar Kanda Pat, jika manusia dapat menguasai cara penggunaan pangangge sastra atau sastra busana, maka dia dianggap telah menguasai ajaran Durga, dewi kematian yang ada di kuburan.. Seseorang yang mampu mempergunakan wisah, yakni, huruf h, maka orang tersebut akan mampu melakukan aneluh, membencanai orang lain. Bila dia mampu mempergunakan aksara wisah dan taling maka dia dapat melakukan tranjana (ilmu sihir). Kalau dia mampu mempergunakan wisah dan cecek, maka dia akan dapat melaksanakan hanuju, menunjukkan kekuatannya ke suatu sasaran yang tepat. Seseorang yang dapat memanfaatkan busana sastra wisah, taling, cecek, dan suku sekaligus maka dia dapat menjadi leak. Dia adalah seorang leak ahli bathin yang amat besar. Dia mampu mengendalikan semua kekuatan negatif atau pangiwa yang ada di dunia ini. Untuk mampu menggunakan aksara pangangge ini yang merupakan gambar dan lambing yang rumit ini perlu ketekunan dan kemauan keras untuk mempelajarinya. Jika salah mempelajarinya maka kekuatan aksara ini akan dapat membahayakan jiwa orang yang mempelajarinya. Tetapi bagi orang yang mampu mempelajarinya dengan baik, maka orang ini dapat mempergunakan kekuatan aksara ini untuk tujuan baik sehingga menjadi balian panengen, untuk menyembuhkan orang sakit akibat terkena sihir balian pangiwa. Untuk mempelajari lebih dalam mengenai aksara pangangge ini dapat dibaca di dalam lontar Tutur Karakah Durakah, Panglukuhan Dasaksara, Tutur Karakah Saraswati, Tutur Bhuwana Mabah, Usada Tiwas Punggung, Usada Netra dan lainnya lagi. Setiap aksara apalagi setelah digabungkan beberapa aksara sehingga menjadi dasa aksara, panca aksara, catur aksara, tri aksara, dwi aksara, dan eka aksara mempunyai gambar atau lambang sendiri-sendiri dengan kekuatan bayu atau vayu yang dapat dimanfaatkan untuk kebaikan dan kesehjateraan umat manusia. Tetapi ada pula orang yang mempelajari aksara ini dengan tujuan utnuk membuat sakit orang lain, sehingga dia disebut balian pangiwa. Hal ini tentunya tidak dikehendaki oleh umat manusia. 10 hurup suci (Dasa Aksara) sumber alam semesta 11 September 2012 pukul 11:58 OM Swastiastu,   hurup-hurup suci yang merupakaran sumber dari alam semesta termasuk manusia adalah dasaaksara. mungkin sudah banyak yang sering mendengar kata Dasa Aksara ini, berikut ini akan diulas kembali Dasa Aksara tersebut..       Diceritakan dalam setiap tubuh manusia terdapat hurup – urup yang sangat disucikan, diceritakan pula bahwa Dewa - dewa dari hurup suci tersebut bersatu menjadi sang hyang ‘dasa aksara’. Dasa aksara merupakan sepuluh hurup utama dalam alam ini yang merupakan simbol dari penguasa alam jagat raya. Dari sepuluh hurup bersatu menjadi panca brahma(lima hurup suci untuk menciptakan dan menghancurkan), panca brahma menjadi tri aksara(tiga hurup), tri aksara menjadi eka aksara (satu hurup). Ini hurupnya: “OM”. Bila sudah hafal dengan pengucapan hurup suci tersebut agar selalu di ingat dan diresapi, karena ini merupakan sumber dari kekuatan alam semesta yang terletak di dalam tubuh kita (bhuana alit) ataupun dalam jagat raya ini (bhuana agung).     Begini caranya menyatukan ataupun menempatkan sang hyang dasa aksara dalam badan ini. Yang pertama sang hyang sandhi reka yang terletak dalam badan kita ini. Beliau bertapa-beryoga sehingga beliau menjelma menjadi sang hyang eka jala resi. Sang hyang eka jala rsi beryoga muncul sang hyang ketu dan sang hyang rau.   Sang hyang rau menciptakan kala (waktu), kegelapan, niat (jahat yang sangat banyak, sedangkan sang hyang ketu menciptakan tiga aksara yang sangat berguna, diantaranya wreasta (ha, na, ca, ra, ka, da, ta, sa, wa, la, ma, ga, ba, nga, pa, ja, ya, nya), beserta swalalita dan modre. Sehingga jumlah hurupnya adalah dua puluh hurup. Aksara modre bersatu dengan sembilan hurup wreasta yaitu dari ha –wa, yang kemudian disebut dasa sita. Aksara swalelita, bersatu dengan sembilan hurup wreasta lainnya yaitu dari la – nya, yang kemudian disebut ‘dasa sila’ dan ‘dasa bayu’. Bertemu ketiga induk dari aksara suci tersebut; dasa sita, dasa sila, dasa bayu menjadi ‘dasa aksara’.   begini cara menempatkan sang hyang dasa aksara didalam badan; Sa ditempatkan di jantung, Ba ditempatkan di hati, Ta ditempatkan di kambung, A ditempatkan di empedu, I ditempatkan di dasar hati, Na ditempatkan di paru - paru, Ma ditempatkan di usus halus, Si ditempatkan di ginjal, Wa ditempatkan di pancreas, ya ditempatkan di ujung hati.   Dasa aksara diringkas menjadi panca brahma (sa, ba, ta, a, i). panca brahma diringkas menjadi tri aksara (a, u, ma). Setelah itu baru turun arda candra (bulan sabit), windu (lingkaran) dan nada (titik). Baru boleh di ucapkan sang, bang, tang, ang, ing, nang, mang, sing, wang, yang.   lafalkan aksara tersebut lalu letakkan dalam tubuh kita dan alam semesta. Ini rangkuman intisari dari sastra yang berjumlah lima hurup, yang digunakan untuk memuja tuhan, memanggil, menghaturkan persembahan, memohon anugrah dari tuhan YME, diantaranya: mantra untuk memuja tuhan, Mang Ang Ong Ung Yang. mantra untuk memanggil agar tuhan berkenan hadir, Ang Ong Ung Yang Mang mantra untuk mempersembahan sesajen jamuan dari kita, Ong Ung Yang Mang Ang mantra untuk memohon anugrah dari tuhan YME, Ung Yang Mang Ang Ong yang disebut Panca tirta, ini aksaranya: Sang sebagai tirta sanjiwani, untuk pangelukatan (membersihkan). Bang sebagai tirta kamandalu, untuk pangeleburan (menghancurkan). Tang merupakan tirta kundalini, utuk pemunah (menghilangkan). Ang merupakan tirta mahatirta, untuk kasidian (agar sakti). Ing merupakan tirta pawitra, untuk pangesengan (membakar). Ini yang dikatakan panca brahma, berada dalam diri manusia. Ini aksaranya; Nang disimpan di suara. Mang disimpan di tenaga Sing disimpan di hati/perasaan Wang disimpan di pikiran Yang disimpan di nafas. Kemudian balikkan hurup tersebut: Yang disimpan di jiwa Wang disimpan di guna/aura Sing disimpan di pangkal tenggorokan Mang disimpan di lidah Nang disimpan di mulut Ini menyimpan Rwa bhineda (dua sisi dunia), ini suaranya; Ong Ung. Ong di hati putih, ung di hati hitam. Ung di empedu, ong di pancreas. Ong di dubur, ung di usus.   Ini suara inti sari; ekam evam dwityam Brahman, disebut ONG. Berupa api rwa bhineda Ang, berupa air rwa bineda Ah.   dasar mantra antuk tri aksara; Mang Ang Ung kemulan mantra; Ang Ung Mang pengastiti widhi dewa bethara; Ung Mang Ang iki pengeraksa jiwa antuk catur aksara; Mang Ang Ung Ong pengundang bhuta dengen antuk kahuripan; Ang Ung Ong Mang pemageh bayu ring raga antuk catur resi; Ung Ong Mang Ang pangemit bayu antuk catur dewati; Ong Mang Ang Ung   ini pertemuan sastra yang delapan belas (wreastra), bertemu ujung dengan pengkalnya menjadi dasa aksara, diantaranya; ha – nya menjadi sang na – ya menjadi nang ca – ja menjadi bang ra – pa menjadi mang ka – nga menjadi tang da – ba menjadi sing ta – ga menjadi ang sa – ma menjadi wang wa – la menjadi ing, yang ini merupakan maksud dari sastra wreastra, dibaca dari belakang. diantaranya; nyaya berarti sang Hyang Pasupati, tuhan japa berarti sang hyang mantra, ngaba berarti Sang Hyang guna, gama berarti kekal, abadi, lawa berarti manusia sata berarti hewan dan binatang daka berarti pendeta, nabi, orang suci raca berarti tumbuhannaha berarti moksa, nirvana demikianlah sastra yang ada di alam ini yang berada juga didalam tubuh kita. Jagalah kesucian dan keseimbangan dari hurup suci tersebut. Semoga setelah membaca dan meresapi sastra ini, dunia ini akan menjadi semakin sejahtera. I.    Pendahuluan Bali sebagai provinsi yang juga terlibat dalam kebijakan Otonomi Daerah, mestinya sudah bisa menangkap sinyal-sinyal tentang apa yang seharusnya dikembangkan untuk menjaga kelangsungan dan mempertahankan identitas Bali yang telah dikenal oleh masyarakt dunia. Salah satu aspek penting pembangunan daerah Bali adalah masalah bahasa Bali. Pendapat yang mengisyaratkan ‘kematian bahasa Bali, hendaknya menjadi renungan pemerintah daerah Bali, agar segera mengambil langkah atau terobosan baru untuk mengembangkan bahasa Bali itu sendiri. Otonomi Daerah hendaknya dimaknai sebagai peluang besar yang hams dimanfaatkan untuk menciptakan ruang gerak yang lebih besar kepada bahasa Bali sebagai ciri atau identitas orang Bali. Oleh karena itu ranah-ranah yang cukup potensial dalam konsep keberlangsungan bahasa Bali, hendaknya dikembangkan lewat tiga jalur, yakni agama (Hindu), pendidikan (informal, formal dan nonformal), dan kebudayaan. Jika ketiga konsep ini dikembangkan secara simultan dalam mempertahankan keberlangsungan hidup bahasa Bali, niscaya bahasa Bali tidak akan mati sebelum waktunya. Jadi pemerintah hams memanfaatkan dua keran keterbukaan yang digelindingkan oleh pemerintah pusat, yakni keran reformasi dan keran Otonomi Daerah. Momen yang tepat untuk mengembangkan bahasa Bali seperti yang telah dijelaskan di atas, yakni melalui agama Hindu, pendidikan, dan kebudayaan di Bali, oleh karena melalui momen-momen tersebutlal mestinya bahasa Bali menemukan kembali jati dirinya sebagai bahasa ibu (bahasa pertama), bukan sebagai bahasa asing di negeri sendiri. Dalam realitas kedwibahasaan masyarakat Bali saat ini bahkan boleh dikatakan mengarah ke multilingual, bahasa Bali mungkin akan menjadi bahasa ketiga setelah bahasa Indonesia dan bahasa asing. Untuk mengembalikan posisi bahasa Bali sebagai bahasa ibu (bahasa pertama), maka diperlukan sinergi pemikiran saat ini antara kaum intelektual Bali, pemerintah daerah, dan masyarakat Bali demi kelangsungan hidup bahasa daerah Bali(Duija,2006:1) Dalam kaitan menuju pengembangan bahasa Bali sebagai sub-unsur kebudayaan Bali, Joshua. A.Fishman sebagaimana dikutip Adam Kuper, dan Jessica Kuper (2000: 547-548; Yadnya,2004:4) menyatakan bahwa ada tiga hal yang menunjukkan bahwa bahasa sangat terkait dengan budaya: bahasa itu sendiri adalah bagian dari budaya; bahasa adalah indeks dari kebudayaan: bahasa adalah simbol budaya1. Dari segi pemahaman menjadi menarik apa yang dikemukakan Fishman, oleh karena dimensi baru terhadap kebermaknaan bahasa dalam kaitannya dengan kebudayaan itu sendiri menjadi semakin jelas dan bersifat holistik-integral. Aksara dan bahasa Bali merupakan alat untuk melestarikan pustaka suci yang mengandung antara lain : filsafat kerohanian, serta tentang hal susastra dan politik yang merupakan pegangan hidup masyarakat yang beragama Hindu (Bagus, 1994:6). Pada bagian lain I Gusti Ngurah Bagus (1980:6) menguraikan huruf atau aksara dapat diterjemahkan ke dalam bahasa Bali Baku dengan dua kata, yaitu aksara dan sastra. Di samping terdapat kata non-baku tastra yang merupakan bentuk rusakan dari kata sastra tadi, kedua kata itu mengacu pada makna yang soma, namun pemakaian kata sastra lebih luas umpamanya dapat memperoleh awalan nasal (N-) sehingga menjadi nyastra2 yang artinya berilmu. Keusep Nyastra sesungguhnya tidak hanya menyangkut beiajar sastra, namun lebih luas lagi, yakni bagaimana menggali nilai-nilai sastra agama Hindu tersebut yang kemudian dapat diamalkan sebagai pedoman dalam berperilaku sehari-hari. Nyastra juga bermakna mendalami berbagai ilmu pengetahuan “Kebalian” yang tertuang di dalam pustaka-pustaka suci, sastra-sastra suci. Ungkapan dalam kakawin Nitisastra Sargah I. Seloha 3 bait pertama ada disebutkan Nora na mitra mengelwihana wara guna maruhur (tidak ada sahabat yang melebihi hakikat ilmu pengetahuan yang di dalam agama Hindu dikenal dengan sebutan Qastra. Sargah IV. Seloha I Bait Ketiga juga disebutkan Sanghyang gastra maka dipanikanang tri bhuwana (pengetahuan sastra agama) sebagai penerang di ketiga dunia. Dalam konteks kebudayaan Bali sebagaimana telah dijelaskan di atas, aksara’ (huruf) setelah dirangkai menjadi kata dan kemudian kalimat dapat berfungsi sebagai perekam kebudayaan dalam sistem komunikasi antar-manusia. Aksara juga dikenal sebagai teknik hasil kreativitas budaya manusia (baca:budaya kreatif atau ekonomi kreatif). Sejak ditemukannya aksara (dan bahasa) dan digunakan dalam berkomunikasi juga dapat rneningkatkan peradabannya dengan menggunakan tanda. Dengan aksara dan bahasa, manusia berkomunikasi dan beradaptasi dengan kepentingan hidupnya yang semakin berkembang. Dari gambaran sejarah kebudayaannya, Indonesia telah mengenal berbagai aksara dan bahasa yang digunakan sejak zaman lampau. Di Indonesia telah digunakan berbagai aksara seperti : aksara (huruf) Pallawa, dikenal huruf Jawa, Sunda, Arab, Bali, terakhir dikenal huruf (aksara) Latin yang berasal dari Barat. Akibat pengaruh sejarah, kini huruf latin digunakan secara meluas, sebagai alat dan sarana komunikasi di dunia, sehingga ada anggapan bahwa jika tidak mengenal huruf latin disebut buta huruf (buta aksara), meskipun huruf-huruf (aksara) lain dikenal dalam masyarakat lokal atau kelompoknya (baca: aksara Bali bagi masyarakat Bali). Orang yang buta huruf dikenal sebagai orang yang belum maju, pantas untuk mengejar ketertinggalannya dalam pengetahuan membaca dan menulis. Dengan menguasai aksara dan bahasa dalam pengertian yang luas masyarakat mampu beradaptasi dengan kemajuan peradaban manusia. Perkembangan .aksara di samping sebagai simbol budaya, komunikasi, identitas budaya dan ciri kemajuan peradaban, aksara juga penting dimaknai dalam kehidupan budaya. Oleh karena banyak pembendaharaan khasanah budaya mampu direkam clan disimbolkan oleh keberadaan aksara itu sendiri. II.       Pembahasan 2.1   Beberapa Catatan Tentang Aksara dan Bahasa Cacatan penggunaan dan perkembangan aksara di Indonesia setidaknya dapat dirujuk karya Casparis (1975) yang berjudul Indonesian Palaegrafi, dijelaskan bahwa pemakaian aksara Pallawa telah dimulai sejak abad VII hingga akhir abad VIII, setelah itu di Indonesia dipakai huruf Jawa sampai abad XV, yaitu sampai zaman klasik Hindu Budha (Riyadi, 1996). Aksara di Nusantara dapat dikiasifikasikan menjadi tiga periode, yaitu: periode klasik, periode Islam, dan periode kolonial. Periode klasik Hindu-Buddha yang dijumpai di Nusantara adalah aksara Pallawa, pasca Pallawa dan aksara Kawi. Periode Islam memakai aksara Arab, aksara Arab Melayu, aksara Pegon dan aksara Serang. Sedangkan pada periode kolonial memakai aksara Gotik, aksara Latin dan dalam perkembangannya menjadi aksara nasional di Indonesia. Perkembangan aksara di wilayah nusantara dapat dilihat dalam dua model (Van Leur, 1933), yaitu yang menyebarkan aksara tersebut adalah kaum Brahmana (disebut teori Brahmana) dan teori F.D.K. Bosh (1952) yang menjelaskan bahwa penyebarluasan aksara di nusantara adalah orang-orang Jawa yang belajar di India (Tim, 1997). Terlepas dari teori yang mana lebih tepat, bukanlah sesuatu yang penting, namun kedua teori tersebut telah memberi catatan penting dalam sejarah keaksaraan di Indonesia, sehingga Indonesia mulai mengalarni zaman sejarah sejak ditemukannya sistem aksara sebagai cikal-bakal tradisi tulis. Para peneliti sebelumnya, baik ahli epigrafi maupun arkeologi telah mencermati bahwa perubahan aksara dari waktu ke waktu beradaptasi sesuai dengan kebutuhannya. Dalam pengertian bahwa keberadaab aksara itu akan menyerap warna budaya lokal di mana aksara itu digunakan oleh pendukung kebudayaan aksara itu sendiri. Perubahan aksara (Riyadi, 1996) tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: a.       Aksara Pallawa awal, dipakai sebelum abad VII M, misalnya prasasti Tugu Bogor. b.      Aksara Pallawa tahap akhir, dipakai pada abad VII sampai pertengahan abad VIII M, misalnya prasasti di Canggal, Kedu dan Magelang. c.       Aksara Kawi atau Jawa Kuna tahap awal dipakai pada tahun 750 M -725 M, misalnya prasasti Balengan di Kalasan Yogyakarta. d.      Aksara.Kawi atau Jawa Kuna tahap akhir dipakai tahun 925 M-1250 M, misalnya prasasti Airlangga. e.      Aksara Majapahait dan aksara daerah/lokal dipakai pada tahun 1250 – 1450 M, misalnya prasasti Singasari dan lontar Kunjarakarna. f.        Aksara Jawa Baru, dipakai pada tahun 1500 sampai sekarang, misalnya pada kitab Sulah Bonang dan kitab yang lebih muda Selain itu, hal penting perlu dikemukakan di sini adalah aksara Pallawa menggunakan bahasa Sansekerta, seperti yang digunakan dalam pasasti Canggal (Sleman), Jawa Tengah (732 M). Perkembangan aksara Kawi dalam budaya Jawa sangatt erat kaitannya dengan kerajaan Hindu-Budha di Jawa Tengah dan Jawa Timur, terutama abad VII dan VIII M. Periode Singasari dan Majapahit bahasa Jawa Kuna dapat dilihat dalam teks-teks kakawin, seperti kakawin Pujastawa (Tim, 1997). Di daerah lain, seperti Sunda, Bugis, Bali dan beberapa daerah yang mengenal aksara memiliki kehidupan masing-masing dalam kazanah kebudayaannya. Contohnya aksara Bali dalam periode belakangan digunakan untuk sarana penulisan Jawa Kuna dan Bali. Pesatnya tradisi penulisan dalam berbagai sanggar penulisan naskah (scriptorium)4 disebabkan oleh teks ataupun naskah di Bali digunakan dalam berbagai kegiatan adat dan agama Hindu, khususnya dalam konteks pembacaan naskah yang disebut tradisi pesantian. Sangat berbeda dengan tradisi di Jawa. Di sini terjadi adaptasi penggunaan bahasa dan aksara disesuaikan sesuai dengan kebutuhannya. Berbeda halnya dengan huruf latin, kini digunakan dalam penulisan bahasa Indonesia yang berasal dari bahasa Melayu sebagai bahasa nasional yang disampaikan dalam acara resmi kenegaraan, acara formal. di sekolah-sekolah, dan sarana komunikasi antar masyarakatnya, sarana kebudayaan dan lain-lain. Bahasa dan aksara latin dalam konteks budaya modern dan juga global digunakan sebagai bahasa dalam pemahamanalih teknologi dan ilmu pengetahuan (sciense). Hal ini disebabkan beberapa kelemahan dalam aksara dan bahasa daerah di nusantara untuk “mewahanai konsep ilmu pengetahuan dan teknologi. 2.2Fungsi Aksara dan Bahasa Aksara dan bahasa memiliki kedudukan dan fungsi dalam kehadirannya. Kedudukan di sini diartikan bahwa aksara dan bahasa ditempatkan dalam ranah kehidupan kemanusiaan sama dengan bidang-bidang lainnya, karena dapat memberi makna kehidupan manusia. Demikian pula fungsi di sini, bahwa aksara dan bahasa memiliki manfaat dalam kehidupan berbudaya karena dapat memberikan makna dalam kehidupan dalam memperkuat jati diri (baca: ungkapan bahasa menunjukkan bangsa). Dengan ungkapan tersebut jelas bahwa aksara dan bahasa suatu suku bangsa atau bangsa menunjukkan identitas suku atau bangsa yang bersangkutan. Bahasa maupun aksara adalah bagian penting dari penataan kehidupan manuasia dalam aspek tatakrama dan nilai rasa kemanusiaan itu sendiri. Bahasa, dan aksara adalah simbol ungkapan pikiran, perasaaan (emosional), spiritualitas, perilaku, asal-usul etnis, peradaban, seni dan sebagainya. Berkaitan dengan usaha-usaha kajian ke arah fungsi di sini dikemukakan beberapa fungsi aksara (Jawa), yaitu fungsi filsafat dalam huruf Jawa dengan falsafah hidup yang dianut oleh masyarakat Jawa. Contoh makna ha-na-ca-ra-ka, da-ta-sa-wa-la-, pa-da-ja-ya-nya, ma-ga-bu-tha-nga-, memiliki makna hidup dalam masyarakat Jawa yang disebut ilmu kaweruh/ilmu sangkan parang dumudi (Timoer, 1994 ; Hendricus, 2003). Dalam konteks kebudayaan Jawa Aksara telah membatin dalam sanubari orang Jawa, artinya aksara berkaitan dengan struktur anatomi manusia Jawa dalam perspektif filsafat ngelmu kaweruh. Susunan tubuh manusia dalam pemahaman ini terdiri dari susunan aksara-aksara yang sedemikian rupa dan masing-masing aksara memberi rang makna terhadap fungsi tubuh manusia Jawa. (Bandingkan dengan penggunaan aksara dalam upacara kematian di Bali; Baca : Kajang). Aksara memiliki berbagai magis dalam Rajah Kala Cakra atau Semar berpengaruh sastra Denta Wiajana aksara Jawa berfungsi estetis, fungsi pragmatik (Hendricus, 2005) Berkaitan dengan studi aksara di Bahasa Bali di sini dikemukakan model kajian aksara dan bahasa Bali, aksara dan bahasa penting dalam kehidupan masyarakat Bali terutama mengenai orientasi hidup nyata kekinian (dalam asek keagamaan dan estetika) serta aspek ketuhanan (simbol-simbol) yang dimunculkan dalam aksara Bali, sehingga dalam masyarakat Bali keseimbangan hidup penting, seperti aspek duniawi dan sorgawi (alam alam ke-Tuhanan), aspek sakala-niskala. 2.2.1          Aksara berfungi Simbolik Bentukan-bentukan aksara menyimbolkan kekuatan Sanghyang Widhi, seperti simbol aksara A- U-M (OM), sebagai simbol Dewa Berahma (A), Dewa Wisnu (U), dan Siwa (A/), AUM juga sebagai simbol Tri Buwana (tiga dunia), yaitu dunia bawah, tengah, dan atas. Fungsi aksara lebih kompleks dipakai dalam pangider-ider (arah mata angin sebagai simbol kosmologi Hindu), dengan simbol senjata, wama, dan aksara. Mata angin di sini secara kosmologi merupakan arah keluhuran, kesucian, keindahan dan kebenaran. Oleh karena itu, konsep mata angin ini tidak dapat dipertukarkan satu sama lain, baik warna, aksara, lambang, dan sebagainya (Baca: konsep luan-teben, kaja kangin, kaja). Setiap ritual di Bali (yadnya) baik itu, Dewa Yajnya, Pitra Yajnya, Manusa Yajnya, Rest Yajnya, dan Buta Yajnya selalu menggunakan gambar/huruf yang disebut aksara modre dan wijaksara. Konseppangider-ider (dalam upacara Butha Yajnya) disimbolkan’sebagai berikut : 1. Tempat di utara Dewa Wisnu Aksara        Ang Senjata      Cakra Warna        Hitam Urip            4 2. Tempat di timur laut Dewa       Sambu Aksara     Wang Senjata    Trisula Urip           6 3. Tempat di timur Dewa         Iswara Aksara      Sang Senjata     Barja Warna       Putih Urip           5 4. Tempat di tenggara Dewa      Mahesora Aksara    Nang Senjata   Dupa Warna     Dadu Urip         8 Makna konsep pangider-ider (simbol keseimbangan) ini agar dapat menempatkan arah-arah posisi suci di dalam alam pulau Bali, terutama letak kesucian pembuatan danletak pura-pura. Dengan tujuan agar pulau Bali dapat tetap seimbang dan harmonis dengan pusat Pura Besakih. Fungsi simbolik aksara dan bahasa ini adalah berhubungan dengan teologi khususnya susunan Dewa-dewa dalam pantheon Hindu. Setiap arah vertikal dan horizontal disimbolkan dengan aksara (baca: Wijaksara). Demikian pula hampir setiap ritual Hindu khususnya selalu menggunakan lambang-lambang aksara sebagai perlengkapannya, baik dalam bentuk rerajahan pada tempat, sarana upacara, atribut, ulap-ulap, kajang, dan sebagainya. 2.2.2     Fungsi Bahasa dan Aksara dalam Naskah dan Teks Keagamaan Tradisi teks5 khususnya yang menyangkut teks dan naskah suci sesungguhnya merupakan kunci pemertahanan aksara, bahasa, dan sastra Bali itu sendiri. Analoginya adalah sebagaimana halnya bahasa Jawa Kuno sekarang ini,  sulit dilacak jejaknya jika saja aksara, bahasa dan sastra Jawa Kuno itu tidak tersimpan pada teks dan naskah pada prasasti, dam rontal dan sebagainya baik yang berupa karya kekawin, gancaran, babad, dan lain sebagainya. Demikian pula halnya dengan aksara, bahasa dan sastra Bali, tradisi teks dan naskah pustaka suci mampu bertahan hingga kini dan di masa yang akan datang, salah satunya disebabkan oleh tradisi teks dan naskah seperti itu. Dalam kepustakaan suci atau yang berkaitan dengan tradisi keagamaan di Bali dapat dilihat betapa banyak dokumen kebahasaan yang tersimpan dalam naskah-naskah tersebut. Naskah tersebut ada beberapa yang langsung menyangkut tata bahasa, seperti lontar Aji Saraswati, Kertabasa, Griguh, Widhi papincatan, Dasanama dan lain sebagainya. Beberapa catatan patut disimak di sini bahwa menurut penggolongan naskah-naskah Bali sebagai dokumen kebahsaan seperti pada kelompok I. Weda; (a) Weda-weda yang terdapat di bali, memakai bahasa Sanskerta dan kadang-kadang kata-kata Jawa Kuno dan Bali, (b) Mantra, menurut perkembangannya berasal dari Jawa dan Bali, (c) Kalpasastra (ritualia) rontal-rontal yang isinya memuat tentang upacara-upacara keagamaan. II. Agama; (a) Palakerta, buku-buku peraturan sebagaimana halnya dengan kitab-kitab Dharmasastra. kerta sima, awig-awig, (b) Sesana, buku buku petunjuk tentang kesusilaan, moral, (c) Niti, kitab-kitab hukum maupun perundang-undangan yang dipergunakan pada zaman kerajaan. III. Wariga; (a) Wariga, pengertian tentang astronomi dan astrologi, (b) Tutur, juga bernama upadesa, pengetahuan tentang kosmos, erat kaitannya dengan agama, (c) Kanda, tentang ilmu bahasa, bangunan, mitologi, maupun tentang pengetahuan khusus, (d) Usada, rontal pengobatan tradisonal. IV. Itihasa; (a) Parwa, yang disusun dalam bentuk prosa Jawa Kuna, (b) Kakawin, disusun berdasarkan mat/tembang gede India Kuna, (c) Kidung, kesusastraan yang disusun dengan tembang tengahan {sekar madya) dengan bahasa Jawa Tengahan, (d) Geguritan, kesusastraan yang disusun dengan tembang macepat seperti sinom, pangkur dan sebagainya dan menggunakan bahasa Bali.6 Naskah-naskah tersebut di atas adalah naskah pokok, sehingga jika dicermati belum termasuk berapa puluh atau ratus salinan yang tersebar di masyarakat untuk dipelajari, bahkan kini muncul kecenderungan berbagai skriptorium7 untuk melestarikan keberadaan aksara, bahasa dan sastra Bali itu sendiri. Dengan demikian tidak sedikit manfaat yang diperoleh dari tradisi teks khususnya yang menyangkut tradisi keagamaan di Bali. 2.2.3. Fungsi Komunikasi Budaya dan Agama Sebagai sarana utama komunikasi keberaksaraan menurut Coulmas (Dalam Kutha Ratna,2005:141) memiliki keunggulan dibandinhgkan dengan kelisanan sebagai berikut: (a) keberaksaraan bersifat diskret, (b) beraksaraan tidak terikat pada waktu penulisan, (c) keberaksaraan bersifat otonom, (d) keberaksaran bersifat kekal, (e) keberaksaraan dapat diketahui dari penglihatan, dan (f) keberaksaraan dihasilkan melalui tangan. Sedangkan bahasa memiliki tujuh ciri menurut Teeuw (1989:26-30) sebagai berikut : (a) Dalam tidak komunikasi dengan bahasa tulis (aksara) antara pendengar dan pembicara kehilangan sarana komunikasi paling hakiki untuk terjadi dan berhasilnya komunikasi, (b) dalam bahasa tulis biasanya tidak ada kemungkinan hubungan fisik antara pembicara dengan pendengar, (c) dalam hal teks tulis seringkali penulis malahan tidak hadir sebagaian atau pun seluruhnya dalam situasi komunikasi, (d) teks tertulis juga mungkin sekali makin lepas dari kerangka referensi aslinya, (e) tetapi pembaca mempunyai keuntungan lain, kalau dibandingkan dengan pendengar dalam situasi komunikasi, yakni pengulangan membaca dapat dilakukan berulang-ulang, (f) teks tertulis pada prinsipnya dapat diproduksi dalam berbagai bentuk, fotocopy, stensilan, buku dan sebagainya, (g) komunikasi antara penulis dan pembaca lewat tulisan membuka kemungkinan adanya jarak jauh antara kedua belah pihak dalam hal ruang, waktu, dan juga dari segi kebudayaannya. Berdasarkan keunggulan keberaksaraan dan juga ciri-ciri bahasa tersebut di atas, maka aksara dan bahasa dalam hal ini bahasa dan aksara Bali, sesungguhnya dapat digunakan sebagai ruang komunikasi dalam perspektif kebudayaan dan agama Hindu. Ruang yang dimaksudkan adalah untuk kepentingan pemahaman nilai-nilai kebudayaan, adat, dan agama Hindu dengan metode apa yang disebut Dharma Wacana (Kothbah Islam). Dharma wacana adalah sebuah metode penyuluhan agama Hindu yang akhir akhir ini telah mendapat tempat di hati umat Hindu di seluruh Indonesia. Namun khusus dharma wacana di Bali masih lebih dominan menggunakan bahasa Bali dibandingkan dengan bahasa Indonesia. Sebagai ilustrasi tokoh Ida Pedanda Made Gunung yang hampir setiap hart beliau memberikan dharma wacana ke seluruh pelosok Bali, jelas misi yang diemban beliau bukan hanya pencerahan agama Hindu, namun yang secara tidak langsung adalah pelestarian dan pemertahanan aksara, bahasa, dan sastra Bali. Jika ada seratus tokoh pendharma wacana yang menggunakan bahasa Bali sebagai media penyampaiannya, maka ke depan orang Bali optimis aksara, bahasa, dan sastra Bali akan tetap lestari dan mendapat dukungan masyarakat Bali. Belakangan ini yang cukup mengembirakan juga adalah ada momentum tertentu, seperti ulang tahun sekaa teruna, sekolah, lembaga, porsenijar, PKB atau perayaan hari penting lainnya senantiasa terdapat kegiatan, seperti: lomba dharma berbahasa Bali, lomba nyastra, masatua Bali yang pesertanya rata-rata anak usia sekolah mulai tingkat SD sampai perguruan tinggi. Jika kegiatan semacam ini konsisten dan berlanjut dilakukan, mungkin ini juga masuk dalam strategi pembinaan dan pengembangan aksara, bahasa dan sastra Bali di masa yang akan datang. Di samping itu fungsi komunkasi yang lainnya adalah d,iarma tula adalah pola diskusi yang dilakukan terkait dengan sustu topik keagamaan tertentu. Berlainan dengan dharma wacana yang hanya satu arah (ceramah), dharma tula adalah dua arah atau hampir sama dengan kegiatan seminar. Dharma tula umumnya dilakukan pada saat: renungan malam siwa ratri, malam banyu pinaruh (malam Saraswati), perayaan malam purnama (di Jagatnatha, Besakih, dan-lain-lainya). Dharma tula ini meskipun tidak mewajibkan menggunakan bahasa Bali, narnun sering juga kegiatan ini menggunakan bahasa Bali khususnya di desa-desa pekraman. Di bandingkan dengan dharma wacana, kegiatan dharma tula ini relatif lebih jarang dilakukan. Namun demikian, tetap bentuk kegiatan ini dapat dimasukkan sebagai wadah penyemaian aksara, bahasa, dan sastra Bali yang cukup efektif di bandingkan dengan pengajaran aksara, bahasa dan sastra Bali di sekolah secara formal. Untuk itu langkah-langkah yang perlu diambil untuk rnenghidupkan kegiatan ini adalah setiap ada piodalan seyogyanya dilakukan dharma tula ini untuk: 2.2.4. Fungsi Estetika Bahasa dalam perspekti seni menimbulkan masalah yang khas, karena bahasa sebagai sarana seni bagi seniman pada prinsipnya berbeda dengan cat, batu, perunggu. gerak-gerik, not-not yang merupakan sarana untuk seni. Bahasa sendiri, sebelum dipakai oleh seniman sudah membentuk sistem tanda dengan sistem makna yang mau tak mau mendasari ciptaan sastrawan (teeuw, 1989:346). Dengan demikian, maka bahasa dan juga aksara memiliki fungsi estetika selain makna yang secara khas telah dimilikinya. Dalam konteks kebudayaan Bali khususnya, estetika bahasa dan sastra sangat terkait dengan apa yang disebut dengan sastra tembang (baca:dharmagita), kemudian juga rerajahan (baca: kaligrafi), sastra yantra (sastra dalam konsep yoga), dan sebagainya. Fungsi estetika sesunggulmya berkaitan dengan nyanyian atau tembang yang dalam istilah kebudayaan Bali dikenal dengan Dharmagita berasal dari bahasa Sanskerta, yang terdiri atas dua kata, yaitu dharma dan gita. Dharma artinya kebenaran, kebajikan, agama. Gita artinya nyanyian atau lagu (Tim Penyusun,2001:150). Berdasarkan pengertian tersebut, maka dharmagita dapat diartikan nyanyian kebenaran. Penggunaan dharmagita dalam berbagai ritual agama Hindu dapat membantu dalam menciptakan suasana hening atau khusuk dengan landasan satyam, ciwam, sundaram 10. Di samping itu, dilihat dari tema-tema syair yang digunakan mengandung. pendidikan budhi pekerti, seperti yang tertuang di dalam ajaran agama: tatwa, etika, dan ritual. Yang merupakan tuntunan hidup yang baik serta lukisan kebenaran Ida Hyang Widhi Wasa dalam berbagai wujud prabhwawnya yang dipuji-puji oleh umat Hindu (Warjana, 1997:2). Dalam tradisi dharmagita ini kegiatan kebahasaan dapat dijelaskan sebagai 1.Pembacaan (pangewacen); tentu telah paham bentul tentang tata bahasa, lagu, aksara dan sebagainya sesuai dengan karakter pupuh/tembang. 2.Penerjemah (juru basa) ; tentu juga paham tata bahasa, anggah-ungguhing basa, kirata basa, dan juga butir (1) di atas. 3.Pembahas (pamidarta) yang mecoba memberikan ulasan terhadap berbagai aspek dari karya yang dibacakan. 4.Penanya (pamitaken) yang mencoba membuka diskusi tentang berbagai aspek yang sesuai dengan kegiatan ketiga butir di atas. 5.Penonton (pamiarsa) yang secara tidak Iangsung telah ikut mendengar, memperhatikan, mencermati dan sebagainya Sebagai bukti eratnya kaitan seni dan agama Hindu di Bali adalah adanya penggolongan kesenian Bali menjadi tiga golongan, yaitu seni Wali, seni Bebali, dan seni Balih-balihan. Seni Wall adalah seni sakral dan hanya dipentaskan pada saat upacara Dewa Yadnya di pura tertentu, seni Bebali adalah seni sakral dan dipentaskan dalam kaitannya dengan upacara adat tertentu sedangkan seni Balih-balihan termasuk seni hiburan yang bersifat sekuler (Bandem, 1996:49). Sebagai contoh Topeng Pajegan dipertunjukkan dalam kaitannya dengan upacara keagamaan, yakni sebagai suatu pengukuhan akan sukses dan berhasil selesainya pelaksanaan upakara dari sebuah upacara atau siddhakarya (Catra, 1997:100). Oleh karena itu, Topeng Pajegan disebut juga Topeng Wali, karena fungsinya untuk upacara keagamaan (panca yadnya) dan dipentaskan sejajar dengan wayang Lemah (wayang upacara) serta dilakukan tepat pada waktu para Sulinggih atau pendeta melakukan upacara (Bandem dan I Nyoman Rembang,1976:12). Dengan demikian. pemahaman akan Topeng Pajengan menjadi jelas dalam konteks kebudayaan Bali yang bernafaskan agama Hindu, sehingga kedudukan dan fungsinya sangat terkait dengan susksenya pelaksanaan upacara agama Hindu di Bali. Kata siddhakarya (siddha = berhasil. karya = aktivitas atau upacara keagamaan). Di sinilah konsep estetika religius Hinduistis dapat dihayati pada tingkat fisik dan metafisik, artinya tidak hanya memberikan makna indrawi, tetapi lebih dari itu memberikan sebuah ritus peralihan (pralines dan sthiti) sehingga secara psikologis merupakan simbol pengosongan dan penciptaan dunia spiritual baru (katarsis), yaitu suksesnya sebuah yadnya (pengabdian spiritual manusia kepada Sang Maha Pencipta). 2.2.5      Fungsi Aksara dan Bahasa di Era Modern/Global Menurut Ong 1982 (Dalam Kutha Ratna,2005:149-150) menyebutkan bahwa tulisan memiliki beberapa ciri dalam zaman modern ini, yaitu (a) tulisan merupakan hasil teknologi komputerisasi dalam kebudayaan mutakhir, karena itu, tulisan bersifat kejam, (b) tulisan menghancurkan memori, manusia menjadi pelupa, tulisan memperlemah pikiran, (c) tulisan tidak responsif, sebab manusia hanya berdialog dengan bahasa, dengan wacana, (d) tulisan bersifat pasif sebab dihasilkan melalui dunia yang tidak alamiah. Terlepas dari beberapa kelemahan bahasa dan aksara di era modernisasi, namun perlu disadari bahwa dengan komputerisasi bahasa dan aksara akan mampu mengadopsi kemajuan teknologi komunikasi dewasa ini. Pada sisi lain juga, bahwa aksara dalam komputer dapat dikreasi dalam berbagai kepentingan praktis, narnun iidak menghilangkan hakikat dan makna yang disimbolkan oleh aksara dan bahasa itu sendiri. Menurut Sudewa (2005:212) menyebutkan sasaran komputerisasi teks aksara Bali adalah sebagai berikut: 1)    Menyunting teks aksara Bali meng unakan pengolahan kata 2)    Melacak teks aksara Bali 3)    Membuat website dengan aksara Bali, mengirim e-Maill dengan aksara Bali 4) Melakukan pemrosesan teks lainnya. seperti pencarian teks dan spell checking 5)    Melakukan pengenalan manuskrip aksara Bali dan menyimpan hasilnya dalam tekas komputer 6)    Dan pemrosesan teks lainnya yang biasa kita lakukan dengan aksara latin. Indonesia seharusnya belajar ke negara lain seperti Cina, Jepang, Arab dan lain- lain. Pada negara-negara tersebut aksara dan bahasa digunakan di dalam dunia industri, seperti dapat dilihat pada hampir setiap produk industri negara itu dengan mencantumkan aksaranya, baru diterjemahkan dengan bahasa internasional (Inggris). Dengan demikian, aksara dan bahasa mereka akan tetap menjadi indentitas atau jati diri produk industri di zaman globalisasi. Persoalannya sekarang adalah bagaimana mentalitas bangsa kita atau khsusunya Bali untuk mengangkat aksara dan bahasa Bali seperti negara Jepang dan Cina itu. Untuk melakukan itu diperlukan komitmen bersarna pemerintah, masyarakat pencinta bahasa (ahli-ahli bahasa dan aksara), dunia industri. Jika, hal itu dapat dilakukan, maka pengembangan apa yang disebut-sebut sebagai ekonomi kreatif yang bertumpu pada cultural capital dapat menjadi tulang punggung dan kekuatan bangsa ketika sumber sumber daya alam telah habis dimanfaatkan. III. Simpulan Berdasarkan pemaparan di atas, maka dapat ditarik simpulan bahwa aksara dan bahasa sesungguhnya mampu dijadikan modal yang kuat atau kokoh untuk membentuk identitas budaya atau jati diri bangsa. Namun, pokok soalnya adalah aksara dan bahasa seringkali dipandang sebelah mata, karena dianggap tidak mampu memberi kontribusi nyata terhadap pembangunan manusia. Anggapa itu sesungguhnya sangat keliru, karena modal budaya (bahasa dan aksara) adalah sumder daya alam yang tidak akan habis jika mampu diangkat dalam ruang ekonomi kreatif. Semua itu dapat dilakukan mengingat bahasa dan aksara memiliki berbagai fungsi sebagaimana dijelaskan di atas. Dengan demikian, untuk mempu bahasa dan aksara menuju jati diri, ekonomi kreatif, mengglobal, tanpa menghilangkan makna atau hakikat ketradisian, maka diperlukan komitmen pemerintah, masyarakat, dan dunia industri serta mentalitas masyarakat yang tidak menganggap aksara dan bahasa Bali sebagai bagian dari feodalisme dan kuno, terkebelakang, tradsinal, bahkan minder. Mentalitas budaya seperti itu akat turut memperburuk dan mempercepat kematian bahasa dan aksara Bali itu sendiri. Catatan: 1. Bahasa sebagai bagian dari budaya: sebagaian besar perilaku manusia dilingkupi oleh bahasa, sehingga bahasa adalah bagian yang tak terpisahkan dari budaya. Upacara, ritual, nyanyian, ceritera, mantera, kutukan, doa, dan hukum, semuanya adalah tindak atau kejadian bahasa. Kawasan budaya kompleks tertentu seperti sosialisasi, pendidikan, pertukaran dan negosiasi juga teicakup dalam bahasa. Dengan demikian bahasa tidak hanya bagian dari budaya tetapi juga menjadi unsur pentingnya. Siapa pun yang akan memasuki dan memahami sebuah budaya harus menguasai bahasanya, karena hanya melalui bahasa seseorang bias berpartisipasi dalam dan mengalami sendiri sebuah budaya. Pergeseran budaya atau hilangnya bahasa yang sangat dekat dengan sebuah budaya adalah pertanda terjadinya perubahan yang laur biasa, dan mungkin dislokasi dan kehancuran budaya, meskipun perasaaan identitas budaya bisa berarti tingkatan atidunal balk radar maupun tidak.  Bahasa sebagai indeks budaya; Peran bahasa sebagai indeks budaya adalah produk (pada tingkatan yang lebih abstrak dari perannya sebagai bagian dari budaya. Bahasa menyingkap cara berpikir dan cara mengorganisasi pengalaman dalam sebuah budaya. Tentu saja bahasa menyediakan istilah-istilah leksikal bagi beragam benda budaya, nilai-nilai dan perilaku yang diakui dalam budaya tersebut. Namun di luar itu, bahasa juga menyediakan tipologi asli dimana acuan-acuan tersebut dikelompokkan. Warna, gejala penyakit, hubungan kekerabatan, makanan, tanaman, bagian-bagian tubuh, spesies binatang adalah tipologi berdasarkan ikatan budaya serta kualitas-kualitas sistematis yang mendapat pengakuan budaya diungkapkan oleh bahasa berdasarkan ikatan budaya terkait. Hal ini bukan berarti bahwa pengguna bahasa tertentu dipaksa untuk hanya mengenali kategori-kategori yang disandikan dalam bahasa ibunya. Pembatasan seperti ini setidaknya bisa ditanggulangi dengan pengalaman silang-budaya dan silang bahasa, seperti penggunaan bahasa matematika dan bahasa ilmiah yang menyediakan kategori-kategori yang berlainan dari yang dihadapi dalam etnokultur dan bahasa ibunya. Bahasa sebagai simbol kebudayaan; Bahasa adalah sistem simbol manusia yang paling lengkap; tidak heran jika bahasa tertentu menjadi simbol dari sebuah etnokultur. Ini bukan hanya kasus sebuah bagian mewakili keseluruhan (seperti kaum Yiddish yang secara stereotif merasa mewakili orang Eropa Timur yang berasal dari budaya Ibrani ultra-ortodoks) tetapi juga ketika bagian tersebut menjadi suatu rangkaian simbol bagi (atau menentang) keseluruhan, dalam beberapa kasus, menjadi penyebab (atau sasaran) dalam atau bagi dirinya sendiri. Pergerakan bahasa dan konflik bahasa mempergunakan bahasa sebagai simbol untuk menggerakkan rakyat untuk membela (atau menyerang) dan untuk mengangkat (atau menolak) buaday yang dikaitkan dengan mereka. Baca: Adam Kuper dan Jessica Kuper, 2000. Ensiklopedi II,.;u-Ilmu Sosial. Edisi Kedua. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2.  Nyastra dalam konteks tradisi sekarang ini sering juga mengacu pada makna ‘menulis aksara Bali atau huruf Bali pada daun rontal, sehingga setiap ada kegiatan lomba menulis aksara Bali, maka disebut lomba nyastra.. Sesungguhnya nyastra merupakan identifikasi bagi orang yang betul-betul telah mempelajari, mendalami, mengamalkan sastra agama, wariga, usada, babad, tutur, dan lainnya secara holistik-filosofis, sehingga dari ilmunya itu mampu memberikan ‘pencerahan batih’ pada setiap orang yang membutuhkan. 3. Aksara (huruf, tulisan) adalah sistem tanda-tanda gratis yang digunakan oleh manusia untuk bekomunikasi, dan sedikit banyaknya mewakili ujaran. Aksara dengan demikian lebih tidak arbitrer dibandingkan dengan bahasa. Secara etimologis aksara berasal dari bahasa Sanskerta yang secara ajektif berarti kekal, tetapi pada umumnya diartikan sebagai kata, suku kata dan huruf(baca: Kutha Rana 2005, “Peran Aksara dalam Perubahan Budaya Global: Menyimak Nilai-nilai Kelisanan dan Keberaksaraan”. Dalam Keberaksaraan Dalam Kebudayaan. Hal. 132. 4. Bandingkan dengan istilah Skriptografi oleh 1 Gusti Ngurah Bagus. Secara definitif skriptografi menyangkut berbagau kajian yang berkaitan dengan tulisan. Skriptografi berasal dari bahasa latin, dari akar kata script dan graphy. Secara leksikal skript berarti : (a) segala sesuatu yang tertulis, (b) dokumen-dokumen resmi, (c) tulisan ash (tulisan tangan), (d) alpabet. Sedangkan graphy berarti : (a) representasi objek tertentu, (b) tulisan dalam lapangan kajian tertentu. Baca: Kutha Ratna,2005.” Peran Aksara dalam perubahan Budaya Global: Menyimak Nilai-nilai Kelisanan dan Keberaksaraan” Dalam Keberaksaraan dalam Kebudayaan. Hal. 131. 5. Pengertian Naskah dan teks dalam ilmu filologi memang berbeda, sehingga kita dapat memberikan penjelasan yang berbeda pula. Seperti dalam penggunaan sehari -hari sering istilah teks disamakan dengan istilah naskah, contohnya; teks pidato atau naskah pidato ? dan sebagainya. Pengertian teks dalam filologi adalah menunjukkan pengertian sebagai sesuatu v ang abstrak, sedangkan naskah merupakan sesuatu yang kongkret. Oleh karena itu pemahaman terhadap teks klasik hanya dapat dilakukan lewat naskah yang merupakan alat penyimpanannya. Dengan demikian teks adalah kandungan ceritanya, sedangkan naskah adalah media pengungkapan dari ide, gagasan, yang masih bersifat abstrak dari cerita yang bersangkutan. Sebab-sebab terjadinya teks menurut De Haan sebagaimanadikutif oleh Robson (1978:13) sebagai berikut: 1.       Aslinya hanya ada dalam ingatan pengarang/pembawa, dan dapat kena variasi bermacam-macam; turunan turunan yang berdiri sendiri terjadi melalui dikte. tiap kali ada pendengar ingin mempunyai teks cerita. 2.       Aslinya adalah sebuah teks tertulis yang kw ing lebih merupakan kerangka yang mengandung kebebasan seni, lantas ada beberapa kemungkinan aslinya disalin begitu saja, atau ditambah dengan perincian tertentu. Aslinya merupakan teks lengkap yang tidak mengizinkan kebebasan dalam pembawaanya karena sudah ada maksud pengarang memakai pilihan kata-kata dan jalan cerita seperti terdapat dalam bentuk literer itu.Dengan demikan filologi sama pengertiannya dengan pengertian tekstologi yakni ilmu yang mempelajari tentang teks. Maka dari itu dalam hal tekstologi dapat pula dibedakan tiga macam tekstologi, menurut ragam penurunan teks: (1) tekstologi yang menelti sejarah teks lisan, (2) tekstologi yang meneliti sejarah teks manuskrip, dan (3) tekstologi yang meneliti sejarah teks cetakan (Teeuw, 1988:254; Baried, 1985:4). 6. Baca: Naskah-naskah Bali menurut Geelong Kenya Singaraja (Suwija,tt:Il). Naskah-naskah yang dimaksudkan di atas adalah naskah-naskah kepustakaan yang terkait dengan tradisi keagamaan Hindu khususnya di Bali. Semua naskah tersebut merupakan dokumen kebahasaab khususnya bahasa Bali atau Jawa Kuna, Aksara dan Sastra Bali. Bandingkan juga Th. Pegeaud, (1967:2-72) Literatur of Java yang telah menggolongkan naskah-naskah keagamaan secara lebih rinci. Di samping itu Ida Bagus Agastia,1985:151)Janis-Jenis Naskah Bali, yang mengutip penngolongan dari Gedong Kirtya dan Pegeaud. Naskah-naskah tersebut merupakan “peti” untuk mempertahankan eksistensi bahasa, aksara dan sastra Bali dulu, sekarang dan yang akan datang. 7. Skriptorium merupakan suatu ruangan yang luas atau terdiri atas ruang-ruang kecil yang tunduk pada berbagai peraturan yang ketat. Segala peralatan yang diperlukan di dalam skriptorium disediakan oleh seorang petugas khusus. Para petugas yang menyalin naskah (scribe) tidak diperbolehkan mengubah sesuatu di dalam teks, walaupun ada kesalahan di dalam teks yang dihadapinya. Baca: Rujiati Muladi, 1994:53. Kodikologi Melayu di Indonesia. Jakarta: FSUI. 8. Istilah estetik dalam kebudayaan Bali seperti misalnya lengut, pangus, hidup, metaksu, adung, dan sebagainya. Di dalam lingkungan kebudayaan Bali ada prinsip-prinsip estetika yaitu (1) prinsip keseimbangan (simetris, sejajar): dua, tiga, empat, lima, delapan, sembilan dan seterusnya. (2) prinsip campuran: terdiri dari berbagai unsur yang disatukan ke dalam satu wadah: mozaik, prembon, campur sari dan sebagainya. (3) prinsip totalitas (sating keterkaitan) sehingga memberikan kepuasan yang lengkap meliputi kenimatan bayu {energy), sabda (voice or sound), idep (thought). (4) prinsip rame (riuh rendah, hiruk pikuk). (5) prinsip suwung atau sunia atau kosong (Dibia,2002:6). Konsep estetika tersebut mungkin dalam istilah yang lain dapat disebutkan wirama (irama, ritme), wiraga (tenaga), wirasa (emosi, rasa), wicara (dialog/monolog) dan wibawa atau ekspresi dan karisma (Bandem,1996:18). Di samping itu dalam konsep estetika Hindu di Bali khususnya terdapat dalam konsep tiga wisesa : satyam (kebenaran), siwam (kesucian), sundaram (keindahan). Hal ini dikamsudkan untuk mencapai ruang estetika metafisika, agar kita mampu meneropong roh kita yang terhanyut oleh keindahan (tango) dengan objek ritual magis yaitu penyucian sang diri (katharsis). Di snalah estetika telah masuk pada ruang kesunyian (suwung). Di sanalah jiwa telah lebar menyatu dengan dewa keindahan yang abadi (Granoka, 1998:28). Oleh karena dalam estetika Hindu yang dipentingkan adalah sebuah dialektika estetik yang selalu menempatkan kebenaran itu suci dan indah, kesucian itu harus benar dan indah, serta keindahan itu harus suci dan mengandung kebenaran. Daftar Pustaka Agastia, Ida Bagus,1985. “Jenis-Jervis Naskah Bali”. Dalam Keadaan dan Perkembangan Bahasa, Sastra, Etika, Tatakrama dan Seal Pertunjukan Jawa, Bali dan Sunda. Editor Soedarsono. Yogyakarta: Proyek Pen- elitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara (Javanologi). Ditjenbud. Bagus, I Gusti Ngurah.1980. Aksara dalam Kebudayaan Bali: Suatu Kajian Antropologi. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam Bidang Ilmu Antropologi Budaya Fak. Sastra Unud. ——-  1994. Aksara Bah Dalam Gejolak Sosial: Antara Kesinambungan dan Perubahan. Makalah Seminar Pengkajian Makna HA-NA-CA RA-KA. Yogyakarta: Bala’ Kajian Sejarah dan Nilai Tradisonal. Baried, Siti Baroroh,1978. Pengantar Teori Filologi. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud. Bandem, I Made. 1996. Etnologi Tari Bali. Yogyakarta: Kanisius. Bandem, I Made dan I Nyoman Rembang. 1976. Perkembangan Topeng Bali Sebagai Seni Pertunjukan. Denpasar: Proyek Penggalian Pembinaan, Pengembangan Seni KlasiklTradisional dan Kesenian Baru, Pemda Bali. Catra, I Wayan. 1997. “Topeng Pajegan Sebagai Ritus Kehidupan”. Dalam Mudra Jurnal Seni dan Budaya. No.5. Tahun V. Edisi Maret. Denpasar: STSI. Cooper, Robert L.1989. Language Planing and Social Change. Cambridge University Press. Duija, I Nengah.2006. Agama Hindu sebagai Bentuk Pemertahanan Aksara, Bahasa, dan Sastra Bali. Makalah Kongres Bahasa Bali. Denpasar: Pemda Bali dan Fakultas Sastra Unud. Granoka, Ida Wayan Oka. 1998. Memori Bajra Sandhi, Perburuan Ke Prana Jiwa. Perburuan Seorang Ida Wayan Granoka. Denpasar: Sanggar Bajra Sandhi Bekerja sama dengan PT Seraya Bali Style. Kuper, Adam dan Jessica Kuper,2000. Ensiklopedi Ihnu-Ilmu Sosial. Edisi Kedua. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Kutha Ratna, I Nyoman.2005. “Peran Aksara Dalam Perubahan Budaya Global: Menyimak Nilai nilai Kelisanan dan Keberaksaraan”. Dalam Keberaksaraan dalam Kebudayaan. Editor Made Suastika dan I Nyoman Kutha Ratna. Denpasar: Program Studi Magister dan Program Doktor Kajian Budaya Unud. Hal. 129. Latif, Yudi, Idi Subandy Ibrahim (ed). 1996. Bahasa dan Kekuasaan, Politik Wacana di Panggung Orde Baru. Bandung: Mizan Mantra, Ida Bagus, 1997. Landasan Kebudayaan Bali. Denpasar: Yayasan Dharma Sastra. Mu,adz, Husni M. 2000. ” Bahasa Daerah sebagai Bahasa Pengantar dan sebagai Mata Pelajaran dalam Sistem Pendidikan”. Dalam Bahasa Indonesia dalam Era Globalisasi. Pernantapan Peran Bahasa Sebagai Sarana Pembangunan Bangsa Penyunting Hasan Alwi dkk. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Mulyadi, Sri Wulan Rujiati. 1994. Kodiko/ogi iVfelayu di Indonesia. Jakarta: Fakultas Sastra Ul. Pigeaud, Th,1967. Lieterture of Java. Volume 1. Leiden: The Haque Robson, S.0.1978. “Pengkajian Sastra-Sastra Klasik Nusantara”. Dalam Majalah Bahasa dan Sastra. —————-  1994. Filologi Indonesia. Jakarta. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud. Saidi, Shaleh.2005. “Aksara dan Kebudayaan: HANACARAKA Aksara Jawa”. Dalam Keberaksaraan dalarn Kebudayaan. Editor Made Suastika dan I Nyoman Kutha Ratna. Denpasar: Program Studi Magister dan Program Doktor Kajian Budaya Unud. Hal.39. Sudewa, Ida Bagus Adi.2005. “Standarisasi clan Implementasi Aksara Bali Pada Komputer”. Dalam Keberaksaraan dalam Kebudayaan. Editor Made Suastika dan I Nyoman Kutha Ratna. Denpasar: Program Studi Magister dan Program Doktor Kajian Budaya Unud. Hal.207. Sugriwa, I Gusti Bagus. 1952. “Seni Budaya Hindu Bali”. Dalam Indonesia Nonor Bali, Majalah Kebudayaan. Jakarta: Lembaga Kebudayaan Indonesia. Supriyanto, Hendricus.2005. “Aksara Jawa, Budaya Jawa, dan Pengobatan Jawa”. Dalam Keberaksaraan dalarn Kebudayaan. Editor Made Suastika dan 1 Nyoman Kutha Ratna. Denpasar: Program Studi Magister dan Program Doktor Kajian Budaya Unud. Hal.51. Teeuw, Andreas, 1989. Sastra dan Ilmu Sastra; Sebuah Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya. Tim Penyusun.2001. Kamus Sanskerta- Indonesia. Denpasar: Proyek Peningkatan Sarana dan Prasarana Kehidupan Beragama Provinsi Bali. Warjana, I Nyoman.1997. Dharmagita. Jakarta: Dirjen Bimas Hindu dan Budha Departemen Agama RI. Yadnya, Ida Bagus Putra.2004. Implikasi Budaya Dalam Penerjemahan. Orasi Ilmiah Dalam rangka HUT ke-46 BKFS ke-23 Fakultas Sastra Universitas Udayana. Denpasar: FS Unud.   Prof. Dr. I Made Suastika, S.U. adalah Guru Besar Fakultas Sastra Universitas Udayana, kini Ketua Program Doktor Kajian Budaya Universitas Udayana.

2 komentar: