TUGAS INDIVIDU SIVA SIDDHANTA II
MAKNA PELINGGIH MERAJAN DADIA KAWITAN ARYA GAJAHPARA
Dosen Pengampu : I Ketut
Pasek Gunawan, S.Pd.H
Oleh
NAMA : NI KETUT MARTINI DEWI
NIM : 10.1.1.1.1.3893
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA HINDU
FAKULTAS DHARMA ACARYA
INSTITUT HINDU DHARMA NEGERI
DENPASAR
2012
1. SEJARAH PURA KAWITAN ARYA GAJAH PARA
A. BANCANGAH ARYA GAJAH PARA
Arya Gajahpara merupakan Arya Kediri keturunan
Sri Jayabaya, kisahnya sebagai berikut : Tersebutlah Rahyang Dimaharaja Manu
mempunyai putra yang bernama Sri Jaya Langit. Sri Jaya Langit berputra Sri
Kandayun, Sri Wretti Kandayun berputra Sri Kameswara. Dan kemudian Sri
Kameswara berputra Sri Dharmawangsa Ananta Wikrama Tunggadewa yang terkenal
dalam pemerintahannya. Kemudian Sri Dharmawangsa Ananta Wikrama Tunggadewa
menurunkan Airlangga dan Sri Tunggul Ametung. Sang Airlangga bertempat di
Negeri Daha dan Sri Tunggul Ametung bertempat di Tumapel.
Sri Airlangga berputra Sri Jayabaya
dan Sri Jayasabha yang memerintah di Baliaga. Sri Jayabaya berputra Sri
Dangdang Gendis dan Sri Siwa Wandira serta Sri Jayakasunu. Dan Sri Dangdang
Gendis menurunkan Sri Jayakatong dan Sri Jayakatong menurunkan Sri Jayakatha. Kemudian
Sri Siwa Wandhira berputra Sri Jaya Waringin, dan Sri Jaya Kasunu berputra Sri
Wirakusuma. Sri Wirakusuma yang meninggalkan tatakrama serta bergelar Raden
Patah. Raden Patah mempunyai 2 orang putra yang bernama Pangeran Bajrakusuma dan
Pangeran Cakrakusuma. Pangeran Bajrakusuma bertempat di Desa Suluh sedangkan
Pangeran Cakrakusuma berada di Yogyakarta.
Diceriterakan putra dari Sri Siwa
Wandira yang bernama Sira Jaya Waringin dan Sri Jayakatha merebut Tumapel yang
mana dulunya dikalahkan. Pada Çaka 1144 di mana Sri Aji Ken Arok dapat berhasil
merebut Prameswari Tunggul Ametung. Pada pemerintahan Ken Arok bersifat keras
dan mendambakan menguasai Kendran. Dalam pemerintahan ini Sri Aji Dangdang
Gendis moksa dan tidak mempunyai keturunan. Kemudian Sri Siwa wandira menurunkan Sri Jayawaringin
yang selanjutnya menurunkan Sri Kuta Wandira. Kemudian Sri Jayakata menurunkan
3 orang putra bergelar Arya, yakni Arya
Wayahan Dalem Manyeneng, Arya Katanggaran dan Arya Mudata. Arya Wayahan Dalem
Manyeneng berputra Sirarya Gajah Para dan Sirarya Getas yang keduanya ini
disuruh oleh De Rakryan Mada datang ke Bali. Diceriterakan Sri Jayasabha
menurunkan Sirarya Kadiri dan Sirarya Kapakisan. Sirarya Kapakisan tinggal di
Bali yang diikuti oleh para ksatria. Sesampainya Sirarya Kapakisan di
Samprangan bertemu dengan Bhu-rawuh. Beliau menurunkan Sirarya Asak dan Sirarya
Nyuhaya. Pangeran Asak menurunkan Pangeran Nginte dan Pangeran Nginte berputra
I Gusti Ngurah Agung Widya dan I Gusti Agung Ngurah Prandawa. I Gusti Ngurah
Agung Widya menurunkan I Gusti Agung Kedung, I Gusti Kalanganyar, I Gusti Ketut
Kalanganyar I Gusti Kacang Paos, I Gusti Intaran.
I Gusti Prandawa bertempat di Ler
dan menurunkan I Gusti Penida, I Gusti Kamasan, I Gusti Kamasan Ketut, I Gusti
Sibetan, I Gusti Sampalan, I Gusti Tamesir, I Gusti Ubud, I Gusti Basangkasa, I
Gusti Teges dan putranya yang perempuan diambil Dalem serta berputra I Gusti Ngurah
Mambal. I Gusti Ngurah Agung Rontal Siyu bertempat di Desa Sangeh. I Gusti
Ngurah Agung Gili Gadung bertempat di Desa Blahkiuh. Kiyai Gusti Ngurah Agung
Nyuh Gading bertempat di Jro Bakungan. I Gusti Ngurah Agung Gili Tabyan berada
di Uma Abyan. Inilah yang menjaga ketentraman Bali.
Diceriterakan Pangeran Nyuhaya Purwa
menurunkan putra yang bernama Arya Patandakan, Satra, Pelangan, Kaloping,
Cacaran, Akah, Anggan, dan yang putri bernama Ayu Adi serta diambil oleh Kiyai
Klapodyana. Kemudian, di Jawa Arya Wayahan Dalem Manyeneng berputra Sirarya
Gajah Para dan Sira Arya Getas. Keduanya ini mengiringkan Sri Kresna Kepakisan
datang ke Bali. Sira Arya Gajah Para bertempat di Sukangenep. Setelah lama di
Sukangenep, lalu pindah ke Bali Jeruk. Setelah itu Kryan Gajah Para mempunyai
putra bernama Ni Gusti Ayu Raras, I Gusti Ngurah Toya Anyar dan I Gusti Ngurah
Sukangenep. Adapun turunan dari Sirarya Getas adalah 2 orang yang bernama I
Gusti Ngurah Getas. I Gusti Kekeran Getas. Sirarya Getas menurunkan 2 orang ini
ditinggalkan di Sukangenep Toya Anyar. Kemudian I Gusti Ngurah Toya Anyar
memperistri putri Kyayi Ngurah Candi yang bernama Stri Ayu Lor. Dari perkawinan
ini lahirlah Gusti Ngurah Tianyar dan Ni Luh Toya Anyar. Ni Gusti Luh Toya
Anyar diperistri oleh Pedanda Sakti Manuaba. Putranya yang lahir adalah Ida
Wayahan Tianyar, Ida Nyoman Tianyar dan Ida Ketut Tianyar.
Pada suatu ketika datanglah I Gusti
Ngurah Tianyar ke Gelgel, di situlah I Gusti Ngurah Kaler bersabda kepadanya agar
berpindah ke Gunung Mangun. Tetapi sabda I Gusti Ngurah Kaler tidak dihiraukan,
maka marahlah Ida I Gusti Ngurah Kaler sehingga terjadi perselisihan dan
akhirnya terbunuhnya I Gusti Ngurah Tianyar. Sang Pandita Sakti Manuaba bersama
istrinya I Gusti Istri Agung datang ke Swecapura menghadap kepada Dalem. Kemudian
I Gusti Ngurah Batulepang berpindah dari Manuaba karena terjadi suatu
peperangan. Adapun keturunan dari Arya Kuta Waringin yang bernama I Gusti
Kutakroya berada di Singadwala Buleleng. Kemudian I Gusti Ngurah Ketut Kuramas
kawin dengan Mekel Batur Gowindha serta menurunkan I Mekel Sasadon dan I Mekel
Kawan. I Mekel Sasadon berputra I Mekel Kumbang dan I Mekel Talutung. Sedangkan
I Mekel Kawan menurunkan I Mekel Kawanan. I Mekel Kumbang berputra I Mekel Sura
dan I Mekel Gon. I Mekel Sura tinggal di Sibetan, I Mekel Gon terlunta-lunta. I
Mekel Kawanan tinggal di Pangawan dan menurunkan I Mekel Rampwana, I Mekel
Ngagiati dan I Mekel Ketut Pangawan. I Mekel Rampwana sebagai wakil Pangeran
Ketut Abyan. I Gusti Ketut Pangawan berputra Mekel Ngagadati, dan I Mekel Cawe.
I Gusti Ngurah Sukangenep berputra I Gusti Ngurah Diratha dan Gusti Ngurah
Intaran dan I Gusti Ngurah Sangging. I Gusti Ngurah Diratha, setahun berada di
Juntal dan mengambil istri anak De Pasek Suddhajapa yang bernama Ni Luh Giri, serta
menurunkan Gusti Ngurah Bratha, Gusti Ngurah Gde Tianyar, Gusti Ngurah Giri
Cakrapatha, dan Gusti Ngurah Gajah Para. Gusti Ngurah Bratha bertempat di Kubu
dan beliau belajar kebujanggaan.
Setelah lama belajar kebujanggaan
dan menurunkan Gusti Ngurah Arum, Gusti Putu Bhuwana, Gusti Ngurah Bon, Gusti
Gede Getas. Gusti Ngurah Giri Cakrapatha menjadi Bendesa di Garbawana. I Gusti
Ngurah Gajah Para berpindah di Kubon Culik menjadi Kepala Desa di Desa
Tongtongan, dan desa Gamongan, Kemudian di Angantelu. Gusti Ngurah Diratha
menetap di Tianyar Sukangenep dan berputra Gusti Ngurah Candha Tianyar, Gusti
Ngurah Gada Sukangenep dan I Gusti Ngurah Bhoja. Kemudian I Gusti Ngurah Candha
Tianyar menurunkan di Toyanyar Sukangenep banjar Getas. Setelah itu I Gusti
Gede Getas mengambil putri dari De Pasek Kubu serta menurunkan I Jro Gede Mladati,
I Jero Nengah Bahingin. I Jero Made Panji mengambil Ni Wayan Intaran di Banjar
Kanginan, keturunan dari Pangeran Tangkas. Adapun putra dari I Jero Made Panji
adalah Jero Jungutan. Jero Made Jungutan mengambil istri 2 orang yang bernama
Ni Jro Nengah Banjar dan Ni Ketut Cebod. Ni Jero Nengah Banjar berputra Jro
Made Jungutan dan Ni Jro Nyoman Srangkung. Ni Ketut Cebod berasal dari Bondalem
dan berputra Jro Wayan Ngon, Jro Made Rai, Jro Nyoman Lasem, dan Jro Ketut
Intaran. Anak dari Jro Nengah Banjar yang bernama I Jero Made Jungutan
mengambil anak dari I Nengah Kajanan yang bernama Ni Nengah Boyod. I Jro Made
Rai mengambil istri ke Tianyar bernama Ni Jro Rai dan menurunkan Ni Jro Luh
Putu dan Ni Jro Nengah Putu. I Jero Made Lasem mengambil istri dari Subagan
yang bernama Ni Luh Putu dan menurunkan Jro Made Goyah, I Nengah Landuh, dan I
Jero Lasem.
Kemudian kembali diceritakan, beliau
Arya Gajahpara, bersama saudara beliau Arya Getas didesak oleh raja, sebagai
mahapatih raja yang ada di Bali. Beliau menurut ( menyerah ), karena ingat
dengan kewajiban sebagai seorang anak, tidak pantas melawan perintah orang tua,
demikian motto kepemimpinan beliau, dengan tetap pula melaksanakan keperwiraan
utama dan keadilan, kedua Arya tersebut diberikan istri, juga merupakan putra
Arya. Tetapi di sana para Arya itu segera diajar tentang kewajiban dan tingkah
laku seorang kesatria, oleh ayah beliau, untuk tetap melaksanakan cita-cita kewajiban
seorang pahlawan (pemberani). Setelah demikian, kedua Arya itu menyembah dan
mohon pamit, berdiri dan segera berangkat. Sekejap telah sampai di pantai laut,
segera beliau naik ke perahu, perahu berlayar hilir mudik, setelah melewati
pertengahan laut, selanjutnya, berlabuhlah beliau di daerah Pulaki, barat daya
Pulau Bali, beliau menumpang di rumah I Gusti Bendesa Pulaki, yang merupakan
keluarga keturunan Bendesa Mas. Sangat senang hati I Gusti Bendesa, tulus
hatinya dan sangat ramah tamah sambutannya, hormat terhadap kedua Arya itu,
seperti berbunga-bunga hati sang tuan rumah, lengkap dengan jamuan penyambutan
I Gusti Bendesa Pulaki. Di sana beliau menginap dua malam.
Pagi-pagi pergilah kedua Arya
tersebut, diantar oleh I Gusti Bendesa, tujuannya untuk menghadap Sri Maharaja,
yang beristana di Samprangan. Tidak habis jika diceritakan perjalanan kedua
Arya tersebut, diantar oleh beliau I Gusti Bendesa. Segera tiba di penghadapan,
beliau langsung mendekat dan menghadap pada baginda raja. Tak lama antaranya
kedua Arya tersebut dipandang oleh sang raja, dengan sopan dan tulus sembah
kedua Arya tersebut, demikian pula I Gusti Bendesa, menimbulkan kekaguman
setiap yang melihat, orang yang berada di tempat penghadapan, oleh tingkah laku
yang baik kedua Arya itu. Ada petunjuk dari sang raja, terhadap kedua Arya,
dinobatkan menjadi patih oleh beliau raja penguasa, bertempat di sana di
sebelah utara Tohlangkir, bermukim di Sukangeneb penyerangan beliau Mada untuk
membunuh raja Bedha Murdhi (Bedahulu), kalahnya Pulau Bali oleh Majapahit.
Menjadi patuhlah Arya itu, dengan
segera ditutuplah penghadapan raja. Setelah itu mohon pamitlah beliau pada Sri
Maharaja, dan permohonannya dikabulkan, kedua Arya itu berjalan menuju ke
utara, diiringkan oleh rakyat sebanyak lima puluh orang, menuju Sukangeneb Toya
Anyar. Setibanya di sana, segera beliau membangun rumah, tenanglah penduduk
sebelah utara gunung Agung itu, batas sebelah timurnya adalah Basang Alas,
sebelah baratnya sampai di Tejakula, sebelah utaranya sampai di desa Got,
demikian batas wilayah kerja beliau, wilayah pemerintahan Arya Gajah Para,
berdua beserta saudara beliau. Beberapa lama kemudian beliau Arya Gajahpara
berdua bersama saudara beliau, hidup di Sukangeneb Toya Anyar, beliau berdua
sama-sama memiliki putra. Adapun putra beliau Gajah Para tiga orang laki-laki
dan perempuan, laki-laki yang sulung I Gusti Ngurah Toya Anyar, adiknya bernama
I Gusti Ngurah Sukangeneb, yang perempuan Ni Gusti Luh Raras, diambil dijadikan
istri oleh beliau Sri Raja Wawu Rawuh, untuk sementara sudah dijelaskan. Beliau
Arya Getas yang diceritakan sekarang, berputra dua orang laki-laki, yang tertua
bernama I Gusti Ngurah Getas, adiknya diberi nama I Gusti Kekeran Getas. Adapun
beliau Arya Getas, setelah berputra dua orang diadu oleh Sri Maharaja, disuruh
menyerang daerah Selaparang, karena beliau menguasai empat daya upaya yang
licin, diikuti oleh seribu enam ratus orang bawahannya, setelah semua lengkap
dengan perbekalan dan kendaraan, menjadi penuhlah desa-desa pesisir di sepanjang
pantai, beliau bersama semua rakyatnya hilir mudik menaiki perahu.
Setelah itu berhasillah beliau berlabuh di tepi pantai
Selaparang, turun dari perahu, berjalan beliau Arya Getas. Rakyat Selaparang
menjadi terdiam, oleh karena beliau ( Arya Getas ) berhasil memasang empat daya
upaya yang licin, beliau langsung menerobos memasuki semua desa, orang-orang
yang berada di Praya semua diam, semua memberi hormat kepada Arya Getas, itu
sebabnya ( beliau ) tinggal di Praya sampai sekarang dan mengembangkan keturunan.
Kembali diceritakan, tersebut I
Gusti Ngurah Sukangeneb, pindah ke arah barat, diikuti oleh rakyat dengan
tiba-tiba, terlunta-lunta perjalanan beliau, sampai tiba di desa Pegametan,
bergegas penduduk di sana, disambut oleh I Gusti Bendesa Pegametan, keturunan
dari Bendesa Mas, senang hati I Gusti Bendesa sama-sama memohon maaf dengan
tulus dan sopan, tidak beberapa lama masuklah di sana I Gusti Ngurah
Sukangeneb, bergandeng tangan dengan I Gusti Bendesa, yang menjadi penguasa di
Pegametan, masuk ke dalam Puri, duduk di beranda rumah, beliau sama-sama senang
saling bertukar pikiran dan berunding, tidak diceritakan jamuan beliau I Gusti
Bendesa. Karena saling mengasihi dari dulu. Waktu telah berlalu, sekarang I
Gusti Ngurah Sukangeneb, beliau berdiam di Pegametan, menyebabkan I Gusti
Bendesa menjadi akrab, dengan I Gusti Sukangeneb. Oleh karena itu dijadikan
menantu laki oleh I Gusti Bendesa. I Gusti Ngurah Sukangeneb. Permintaan I
Gusti Bendesa agar I Gusti Ngurah Sukangeneb dikawinkan dengan I Gusti Kekeran.
Selanjutnya kembali diceritakan,
tersebutlah I Gusti Ngurah Toya Anyar, ada saudara beliau, laki-laki dua orang
dan perempuan seorang. Adapun yang tertua I Gusti Ngurah Tianyar, beliau yang
dinobatkan menggantikan ayah beliau Arya Gajah Para, yang ketiga mengambil
istri I Gusti Ayu Diah Wwesukia, adiknya I Gusti Ngurah Kaler, kawin dengan I
Gusti Diah Lor. Adiknya yang bernama I Gusti Luh Tianyar, dijadikan istri oleh
Pendeta Sakti Manuaba. Adapun I Gusti Ngurah Getas, dan I Gusti Ngurah Kekeran
Getas, beliau tinggal di Sukangeneb, Toya Anyar, beliau sama-sama mengembangkan
keturunan. Kemudian kembali dikisahkan, diceritakan I Gusti Ngurah Tianyar,
beliau yang dinobatkan menjadi tetua di Toya Anyar, generasi ketiga, putra
beliau yang seibu yaitu I Gusti Ayu Diah Wwesukia. Putra tertua ( bernama ) I
Gusti Gede Tianyar, yang selanjutnya berdiam dan memiliki keturunan di Kebon
Culik, putra kedua ( juga ) laki-laki bernama I Gusti Made Tianyar, yang
kemudian tinggal dan berkembang di Sukangeneb Toya Anyar. Putra yang bungsu I
Gusti Nyoman Tianyar, beliau ( yang ) lahir di Desa Pamuhugan, tidak berbeda
seperti leluhur beliau dahulu, janin itu selamat dalam rahim ibunya yang sangat
setia kepada suaminya, berkat anugerah beliau sang raja penguasa di Gelgel, ketiganya
itu diijinkan kembali ke Toya Anyar.
Diceriterakan anak angkat dari I
Gede Jungutan yang bernama I Gede Polos mengambil istri ke Buddha Ireng yang bernama
Ni Jero Nengah Menyir. Putra dari I Wayan Bon bernama I Jero Gde Rogos
mengambil istri anak dari Jro Pasek yang bernama Ni Jro Luh Sandat. I Gusti
Ngurah Sangging berputra Gusti Ngurah Wayan Subrata dan I Gusti Jatakumbha,
serta yang bungsu Gusti Ngurah Ketut Tianyar. I Gusti Ngurah Wayan Subrata
tinggal di Sindhu, sedangkan I Gusti Ngurah Jatakumbha pindah ke desa Pangi,
sedangkan I Gusti Ngurah Tianyar tinggal di desa Pamuhugan dan mengambil istri
serta menurunkan Gusti Wayahan Tianyar, Gusti Nengah Tianyar, Gusti
Purnamasadha.
B. Sanggah Dadia di Desa Tiyingtali, Kecamatan Abang,
Karangasem
Sanggah Pamerajan
berasal dari kata: Sanggah, artinya Sanggar = tempat suci; Pamerajan berasal
dari Praja = keluarga. Jadi Sanggah Pamerajan artinya = tempat suci bagi suatu
keluarga tertentu. Untuk singkatnya orang menyebut secara pendek : Sanggah,
atau Merajan. Tidak berarti bahwa Sanggah untuk orang Jaba, sedangkan Merajan
untuk Triwangsa. Yang satu ini kekeliruan di masyarakat sejak lama, perlu
diluruskan. Sanggah pemerajan ada tiga versi, yaitu :
- Yang
dibangun mengikuti konsep Mpu Kuturan atau Tri murti pelinggihnya yang
letaknya dihulu (kaja-kangin) adalah pelinggih kemulan (Rong tiga, Dua,
Satu), tidak memiliki pelinggih Padmasana/Padmasana.
- Yang
dibangun mengikuti konsep Danghyang Nirarta atau Tri Purusha pelinggihnya
yang letaknya dihulu (kaja-kangin) adalah pelinggih Padmasana/Padmasari,
sedangkan pelinggih kemulan tidak berada di Utama Mandala.
- Kombinasi
keduanya. Biasanya di bangun setelah abad ke-14, maka pelinggih
Padmasana/Padmasari tetap di hulu namun di sebelahnya ada pelinggih
kemulan.
Mengenai
Asta Kosala-Kosali
Yang
dimaksud dengan Asta Kosala adalah aturan tentang bentuk-bentuk niyasa (symbol)
pelinggih, yaitu ukuran panjang, lebar, tinggi, pepalih (tingkatan) dan hiasan.
Jika membangun Sanggah pamerajan yang lengkap, bangunan niyasa yang ada dapat
"turut" 3, 5, 7, 9, dan 11. "Turut" artinya
"berjumlah". Turut 3: Padmasari, Kemulan Rong tiga (pelinggih Hyang
Guru atau Tiga Sakti: Brahma, Wisnu, Siwa), dan Taksu. Jenis ini digunakan oleh
tiap keluarga di rumahnya masing-masing. Turut 5: Padmasari, Kemulan Rong Tiga,
Taksu, Pangrurah, "Baturan Pengayengan" yaitu pelinggih untuk memuja
ista dewata yang lain. Turut 7: adalah turut 5 ditambah dengan pelinggih Limas
cari (Gunung Agung) dan Limas Catu (Gunung Lebah). Yang dimaksud dengan Gunung
Agung dan Gunung Lebah (Batur) adalah symbolisme Hyang Widhi dalam manifestsi
yang menciptakan "Rua Bineda" atau dua hal yang selalu berbeda
misalnya: lelaki dan perempuan, siang dan malam, dharma dan adharma, dll. Turut
9 adalah turut 7 ditambah dengan pelinggih Sapta Petala dan Manjangan Saluwang.
Pelinggih Sapta Petala adalah pemujaan Hyang Widhi sebagai penguasa inti bumi
yang menyebabkan manusia dan mahluk lain dapat hidup.
Manjangan Saluwang
adalah pemujaan Mpu Kuturan sebagai Maha Rsi yang paling berjasa mempertahankan
Agama Hindu di Bali. Turut 11 adalah turut 9 ditambah pelinggih Gedong Kawitan
dan Gedong Ibu. Gedong Kawitan adalah pemujaan leluhur laki-laki yang pertama
kali datang di Bali dan yang mengembangkan keturunan. Gedong Ibu adalah
pemujaan leluhur dari pihak wanita (istri Kawitan). Cara menempatkan
pelinggih-pelinggih itu sesuai dengan konsep Hulu dan Teben, di mana yang
diletakkan di hulu adalah Padmasari/Padmasana, sedangkan yang diletakkan di
teben adalah pelinggih berikutnya sesuai dengan turut seperti diuraikan di
atas. Bila halamannya terbatas sedangkan pelinggihnya perlu banyak, maka letak
bangunan dapat berbentuk L yaitu berderet dari pojok hulu ke teben kiri dan
keteben kanan.
Keterbatasan sumber tertulis maupun
lisan dalam pembuatan tugas ini sehingga penulis kesulitan dan masih mempunyai
banyak kekurangan sehingga penulis tidak mampu secara terperinci menjelaskan
sanggah tersebut. Dadia ini merupakan dadi terbesar yang ada di desa Tiyingtali
dengan jumlah KK yang terbanyak sehingga dadia ini di beri nama Dadia Gede. Keluarga
yang mendirikan sanggah ini dan yang merupakan keturunan dari leluhur ini
kurang lebih terdiri dari 150 KK (Kepala Keluarga) yang dimana sudah tersebar
di berbagai wilayah atau merantau ke berbagai wilayah desa atau kota yang hanya
akan berkumpul pada saat pelaksaan piodalan sanggah tersebut. Dadia ini telah
mengalami proses perbaikan sebanyak 2 kali dan sekarang juga sedang dalam tahap
perbaikan pelinggih menjangan saluwang, limas catu dan limas cari. Pelaksanaan
piodalan sanggah ini jatuh pada rahina Purnama sasih Kapitu. Yang dapat penulis
gali dalam sanggah tersebut yaitu nama-nama pelinggih yang terdapat dalam
sanggah tersebut dan makna masing-masing dari pelinggih tersebut.
a.
Taksu Gede (Pengapit Lawang)
Taksu Gede atau Jro Gede terletak di
depan pintu masuk atau di depan gapura Sanggah atau merajan. Jro Gede ini
adalah Stana Dewa Gana atau Dewa Ganesha
yang fungsinya sebagai penjaga makhluk-makhluk yang berusaha untuk mengganggu
kita. Jro Gede ini merupakan pelinggih yang diadopsi dari sekte Ganapatya atau
Dewa Ganesha. Dalam kepercayaan Hindu, Dewa Ganesha adalah dewa
pembasmi segala rintangan. Oleh karena itu, pada umumnya patung-patung beliau
di bangun di tempat-tempat yang mungkin ada bahaya. Kampuh yang di gunakan
dalam jro Gede ini adalah Saput Poleng dimana Saput Poleng atau Hitam Putih ini
simbol dari keseimbangan. Biasanya banten
atau sarana upakara yang dipersembahkan di Jro Gede adalah Canang
Ketipat dan dibawahnya di dampingi dengan
segehan maca warna.
Biasanya mantra yang dipergunakan
untuk memuja Taksu Gede ini yang merupakan stana Dewa Ganesha adalah :
Om Gana-parama twam-ahyam
Gana-tatwa-parayanah
Gana-pranata-labhanam
Suka Gana namo’stu te
Om Asuci-sarwa-pawitram
Sarwa-karya suci-mukti
Bhukti Gana mahottama
Dewa-sukha paripurnam
Om Tesu-karti maha-gana
Mataras te sukha-karyam
Etana sarwa apunyat
Suddha Dewa paripurnam
Om Tesu-karti maha-trepti
Mataras te Bhatarakah
Etasam sarwa-dewanam
Treptayuyam bhawantu te.
b. Surya
Pelinggih Surya adalah bentuk simbolis
yang digunakan sebagai tempat untuk menghaturkan sesaji yang dipersembahkan
kepada Bhatara Surya (Dewa Matahari). Sang hyang Surya Raditya sebagai saksi
segala kegiatan manusia khusunya ritual yadnya. Dalam hal ini di sinyalir
adanya pengaruh sekte Sora (Surya) dalam pendirian pelinggih Surya. Sistem
pemujaan Dewa Matahari disebut Surya
Sewana dilakukan pada waktu matahari terbit dan matahari terbenam menjadi
ciri penganut Sekte Sora. Pustaka lontar yang membentangkan Surya Sewana ini juga terdapat sekarang
di Bali. Selain itu yang lebih jelas lagi, setiap ritual agama di Bali selalu
dilakukan pemujaan terhadap Dewa Surya sebagai dewa yang memberikan persaksian
bahwa seseorang telah melakukan yadnya. (Gunawan, 2012 : 49). Bukti dari
kristalisasi sekte ini dalam Siwa Shidanta yang masih kita dapat lihat lainnya
adalah penggunaan sebuah mantra yang mengagungkan Dewa Siwa Raditya dalam Kramaning Sembah. Adapun bunyi mantra
tersebut, seperti dibawah ini.
Om Adityasya
param jyoti
rakta teja
nama'stute
sweta pankaja
madhyastha
bhaskaraya
namo'stute
Terjemahan
:
Ya tuhan, Sinar Hyang Surya (Raditya) yang maha
hebat. Engkau bersinar merah, hamba memuja engkau. Hyang Surya yang berstana di
tengah-tengah terarai putih,. Hamba memuja engkau yang menciptakan sinar
matahari berkilauan.
Busana yang dikenakan pelinggih Surya
yaitu Kain Putih Kuning yang merupakan simbol dari kesucian dan kebijaksanaan. Banten
atau upakara yang dipersembahkan di pelinggih Surya adalah tegteg daksina dan
runtutannya canang ketipat kelanan.
c. Kemulan/
Bhatara Tiga Sakti
Sering terjadi
salah pengertian mengenai siapa sebenarnya yang dipuja di pelinggih Kemulan rong
Tiga. Hal ini boleh jadi karena dipergunakannya isitilah “Brahma, Visnu, Iswara
Dewam dan Trimurti” dalam bersembahyangan di Sanggah Kemulan, sehingga timbul
pendapat bahwa yang disembah disitu adalah Ida Sang Hyang Widhi. Pada hal
sesungguhnya di sembah di Kemulan adalah Ida Bhatara Guru atau Leluhur yang
telah suci. Masalah ini telah diputuskan dalam Seminar Kesatuan Tafsir Terhadap
Aspek-Aspek Agama Hindu dimana ditetapkan bahwa Kemulan Rong Tiga adalah
Pelinggih Trimurti/Hyang Kamimitan/Hyang Kemulan.
Menurut
Prof. Dr. Tjok Rai Sudharta MA (SARAD No. 41/2003) hal diatas sejalan dengan
isi lontar-lontar berikut ini:
1. Lontar
Usana Dewa yang menyatakan sebagai berikut:
Yang berstana pada Sanggah Kemulan
adalah Sang Hyang Atma. Di Kemulan rong kanan adalah Para Atma yaitu bapak. Di
Kemulan rong kiri adalah Siwa Atma yaitu ibu. Di Kemulan rong tengah adalah
wujudnya Brahma, yaitu ibu bapak yang sudah berwujud Sang Hyang Tuduh.
2. Lontar
Gong Besi menyatakan sebagai berikut:
“….pada Kemulan rong kanan sebagai
bapak adalah Para Atma. Pada Kemulan rong kiri sebagai ibu namanya Siwa Atma.
Pada Kemulan rong tengah wujudnya sebagai Susuna Atma atau leluhur seterusnya,
yaitu ibu bapak dalam wujudnya pulang kepada Hyang Kuasa yaitu Sang Hyang
Tunggal.
Jadi
Lontar-lontar tersebut menekankan bahwa yang berstana di Sanggah Kemulan adalah
Atman atau Pitara atau Sang Hyang Guru. Jika ada yang menyatakan bahwa yang
berstana di Sanggah Kemulan adalah Trimurti dalam pengertian Ida Sang Hyang
Widhi dalam manifestasiNya sebagai Dewa Brahma, Dewa Visnu, dan Dewa Siwa, maka
pemikiran itu adalah tidak benar. Tegasnya, Roh suci Leluhur atau Dewa Hyang
atau Bhatara Bhatari keluargalah yang distanakan dan disembah di Kemulan Rong
Tiga. (Suhardana, 2006:123).
Dalam setiap rumah
tangga supaya didirikan Rong Tiga sebagai tempat memuja Tri Murti. Trimurti, adalah keyakinan stana Sanghyang
Widhi sesuai dengan Ang – Ung – Mang (AUM = OM) atau Brahma, Wisnu, Siwa,
adalah kedudukan Sanghyang Widhi dalam posisi horizontal, dimana Brahma di arah
Daksina (ruang kanan), Wisnu di Uttara (ruang kiri), dan Siwa di Madya (ruang
tengah). Siwa sebagai Maha Guru atau Bhatara Guru. Rong Tiga itu selain sebagai
tempat memuja Tri Murti, juga difungsikan untuk memuja roh leluhur. Ruang kanan
untuk memuja leluhur laki-laki (purusa), ruang kiri untuk memuja leluhur wanita
(pradana) sedangkan ruang di tengah-tengah untuk memuja leluhur yang sudah
menyatu dengan Bhatara Guru. (Subandi dalam Nurkancana, 1997 : 139). Sudah
sangat terlihat jelas yang dipuja adalah tri purusa. Dimana tuhan Hindu adalah
Siwa yang paling utama. Banten yang di persembahkan adalah tegteg Daksina dan
canang ketipat. Busana yang dikenakan dalam pelinggih kemulan adalah kain putih
kuning yang melambangkan symbol kesucian dan kebijaksanaan. Adapun mantra yang
di pergunakan dalam pemujaan di pelinggih kemulan yaitu :
om nama
dewa adistanaya
sarwa wiapy waisi waya
padma sana eka pratistaya
ardanasres swarya ya namah
d. Menjangan
Saluang
Sanggah
Merajan dan Pura Paibon biasanya memiliki sebuah Pelinggih yang dinamakan
Menjangan Saluang. Yang di beberapa daerah tertentu disebut dengan Sanggah
lantang karena bentuknya yang panjang. Ciri utamanya adalah bahwa di Pelinggih
ini terdapat sebuah kepala menjangan. Berbagai pura lainpun ada juga yang
memiliki Pelinggih ini tetapi bentuknya sedikit berbeda, yaitu bentuknya tidak
panjang dan bersaka tiga. Mungkin karena sakanya hanya tiga atau kurang satu
dari yang lazim, maka Pelinggih ini diberi nama Sakaluang.
Menjangan
Saluang yang bentuknya panjang (lantang) terdiri dari tiga rong besar, dimana
sebuah rong besar terbagi lagi dalam 6 rong kecil-kecil, sehingga secara keseluruhan
menjadi rong 9. Bentuk seperti ini rupanya memang dimaksudkan untuk
menunujukkan adanya 3 kelompok besar masyarakat, dimana salah satu diantaranya
terdiri dari 6 Sub Sekte Agama. Riwayat singkatnya dapat disampaikan sebagai
berikut. Ketika pada 1001 M Mpu Kuturan datang ke Bali, beliau melihat adanya 9
Sekte Agama, yang diperkirakan dapat memecah belah persatuan umat. Karena itu,
maka beliau berusaha untuk mempersatukan 3 Kelompok Besar dengan 6 Sub Sekte
Agama itu, dengan cara mengadakan pertemuan atau Pesamuhan Agung di desa Bedulu
(samuan Tiga). Pesamuhan Agung termaksud dihadiri oleh seluruh unsure
masyarakat Bali ketika itu, yaitu:
1. Unsur
masyarakat yang berasal dari Jawa dan beragama Siwa.
2. Unsur
masyarakat yang beragama Buddha Mahayana (Mpu Kuturan dan para pengikutnya).
3. Unsur
masyarakat bali aga yang mewakili 6 Sub Sekte Agama: Sambu, Brahma, Indra,
Visnu, Bayu, Kala. Tetapi menurut R. Goris (sekte-sekte di Bali) sekte-sekte
itu ada 9, yaitu : Bhairawa, Buddha, Sogata, Brahmana, Ganapati, Rsi, Pasupati,
Sora (Surya), Siwa Sidhanta dan Waisnawa.
Apapun nama-nama
Sekte tersebut yang penting adanya kesepakatan bahwa ke 6 batang Sub/Sub Sekte
termaksud telah mempersatukan dirinya kedalam satu paham yang dinamakan
Trimurti, yaitu bahwa Tuhan itu hanya satu, namun mempunyai tiga fungsi yaitu
sebagai Pencipta (Brahma), Sebagai Pemelihara (Visnu), dan sebagai Pelebur
(Siwa). Paham termaksud sekarang dikenal dengan nama Agama Hindu.
Untuk menghormati Mpu Kuturan yang
telah berjasa mempersatukan umat berbagai Sekte di Bali, maka didirikanlah
Pelinggih menjangan Saluang sebagai manifestasi dari bersatunya umat yang
tadinya terpecah belah, menjadi pengikut satu aliran baru bernama Trimurti atau sebagai penganut Agama
Hindu. Lebih lanjut bentuk Menjangan Saluang pun terlihat sebagai penggambaran
atas ke 3 unsur masyarakat dan 6 Sub Sekte diatas:
1. Dilihat
dari depan, rong paling kanan, mewakili unsur masyarakat yang berasal dari Jawa
dan beragama Siwa.
2. Rong
sebelah kirinya, dengan lambang kepala menjangan, mewakili golongan masyarakat
pengikut Mpu Kuturan yang beragama Buddha Mahayana.
3. Rong
paling kiri masih dilihat dari depan yang terbagi lagi dalam 6 ruang-ruang
kecil, mewakili 6 Sekte Agama dari unsure Bali Aga. Disamping mempersatukan 9
Sekte dan Sub Sekte Agama, maka Pelinggih Menjangan Saluang dipandang sebagai
suatu penyatuan pikiran, pandangan dan keinginan keluarga, jadi sebagai lambang
persatuan dan kesatuan serta kerukunan rumah tangga dan keluarga.
Wastra yang dkenakan dalam
menjangan saluwang adalah putih kuning yang merupakan lambang kesucian dan
kebijaksanaan. Banten yang di persembahkan adalah canang ketipat. Adapun mantra
yang dipergunakan dalam pemujaan menjangan saluwang adalah
Om Ang Mang Dewi
Dimuteri Bhuwana
Triyo
pratisthabhyo samudra
Jagat gurubhyo
namah swaha
Om Ah sukla Dewi
Maha laksmi
Sri Giripati
Sukla Pawitrani Swaha.
e. Bhatara
Kawitan
Pada
pelinggih kawitan ini atau Bhatara kawitan terdapat tumpang-tumpang pada atap
penggih tersebut. Ini merupakan ciri dari pelinggih tersebut dan merupakan
makna dari kawitan. Sebenarnya makna Bhatara kawitan ini merupakan untuk memuja
leluhur kita yang terdahulu telah menyelamatkan keturunannya pada saat medan
perang. Di setiap sanggah atau pemerajan selalu ada pelinggih kawitan ini
menandakan bahwa kita menyungsung Bhatara kawitan pada saat diadakannya
piodalan dari rumah karena tidak sempat untuk tangkil ke Pura Kawitan jadi kita
bisa ngawat dari merajan saja. Busana yang digunakan pada pelinggih ini adalah
putih kuning. Dan banten yang dipersembahkan adalah tegteg daksina dan canang
ketipat.
Mantra Bhatara
Kawitan
Om
Brahma Visnu Iswara Dewam
Jiwatmanam
Tri lokanam
Sarwa
Jagat Pratistanam
Sudha
klesa winasanam
Om
guru paduka dipata ya namah
f. Bale
pelik
Bale Pepelik fungsinya hampir sama
dengan bale agung, dalam artian tempat berkumpulnya atau pertemuan dari para
dewa yang ada kaitannya dengan kahyangan tempat piodalan tersebut.
Mantra Bale
Pelik
Om
Ang Pradana Purusa Sang Yoga ya
Wisnu
Dewa Ya Bhoktra jagatnatha
Dewa
Dewa ya dini sang yoga ya parama swaha
Ing
Ung sarwa Dewa Dewi pratistha.
g. Pelinggih
Limas Catu
Pelinggih Limas
Catu adalah simbol pemujaan untuk sakti dari Dewa Wisnu sebagai pemberi
kemakmuran kepada manusia. Yang sering di sebut dengan Pelinggih Sri Rambut
Sedana.
h. Pelinggih
Paibon ( Ibu)
Merupakan
pemujaan terhadap leluhur, fungsinya sama seperti kemulan atau rong tiga. Yang
berstana di pelinggih hyang ibu adalah leluhur sebagai dewa hyang atau
batara-batari. Busana yang digunakan atau Wastra
yang digunakan dalam pelinggih Hyang Ibu
Atau Batara-Batari yaitu: kain
berwarna poleng. Makna warna kain
putih sebagai simbol kesucian. Banten yang di haturkan di pelinggih Hyang Ibu atau Batara-batari dalam piodalannya: Banten Soroan Tumpeng Pitu. Makna banten Soroan Tumpeng Pitu adalah gabungan beberapa banten yang disi yang
jumlahnya tujuh tumpeng.
Banten-banten yang ada dalam banten
soroan tumpeng pitu antara lain: sesayut,
tipat blayad, Ceper tulung, peras penyeneng,
ajengan, tulung pengambean tumpeng 2, tulung
pengambean tumpeng cerik 3, dapetang,
ajuman, pajegan, pasucian, ulamne bayuh, kawisan, japitan.
Mantram Gedong
Paibon :
Om
ing Indra Dewa taya namah swaha
Mang
Ung Ang Ang Ung Mang
Om
Hrang Hrung sah
Tri
purusha narendra namah
Ang
Ang Ang Prabhawati sarwa jiwa
Mrtha
ya namah swaha
i. Taksu
Pacalang
Pelinggih
ini merupakan stana dari Dewa Gana yang berfungsi sebagai pembasmi rintangan,
halangan ataupun kejahatan-kehajatan di dalam pekarangan merajan. Hal ini
diambil dari Kata Pecalang yang artinya menjaga atau menyeimbangkan jalannya
upacara pada saat piodalan berlangsung. Pelinggih mengenakan saput poleng yang
merupakan simbol keseimbangan.
j. Sapta
Petala
Merupakan
pelinggih untuk memuja Sang Hyang Widhi dalam wujud manifestasi sebagai pertiwi
dengan Tujuh lapis, yaitu :
1. Lapisan Atala, sang jiwa akan lahir di alam ini
karena dalam hidupnya dia baik secara fisik maupun melalui perkataan
a.
hinaan,
b.
fitnah,
c.
penipuan,
d.
manipulasi,
e.
ajaran
spiritual palsu,
f.
hasutan,
dll, yang menyebabkan seseorang
mengalami kesengsaraan berkepanjangan. Sumber kesengsaraan di alam ini adalah
pikiran dan memory akan rasa marah, tersinggung, rasa sakit fisik, rasa
bersalah, dll. Sumber kebahagiaan utama di alam ini adalah pikiran dan memory
akan kasih sayang dan kebaikan yang pernah dilakukan.
2. Lapisan Witala, sang jiwa akan lahir di alam ini
karena dalam hidupnya menyebabkan sekelompok orang mengalami kesengsaraan
berkepanjangan. Misalnya saja :
a.
melakukan
penipuan besar kepada sekelompok orang,
b.
mengeksploitasi
tenaga kerja, dll,
Dan sumber kesengsaraan di alam ini adalah pikiran dan memory akan berbagai
keinginan-keinginan pikiran yang tidak terpenuhi seperti karir, pendidikan,
rasa sayang dari anak-anak, dll.
3. Lapisan Sutala, sang jiwa akan lahir di alam ini
karena dalam hidupnya dia baik secara fisik maupun melalui perkataan yang
menyebabkan banyak orang mengalami kesengsaraan berkepanjangan. Misalnya saja
(hanya contoh),
- meracuni
makanan atau obat-obatan,
- formalin,
- methanol,
- zat
berbahaya,
- obat
dengan dosis tidak sehat dll
- memproduksi
narkoba,
- melakukan
korupsi dengan dampak besar, dll. Sumber kesengsaraan di alam ini adalah pikiran dan
memory akan berbagai keinginan-keinginan badan dan pikiran yang tidak
terpenuhi.
4. Lapisan Talatala, kita mulai memasuki lapisan alam
negatif (pertama) yang merupakan habitat bagi jiwa-jiwa yang sedikit punya rasa
kasih sayang dan dominan punya bathin gelap seperti :
a.
kemarahan,
b.
dendam,
c.
iri
hati, dan
d.
kebencian.
e.
Sang
jiwa akan lahir di alam ini karena dalam hidupnya dia melakukan, menghasut, mengatur,
memanipulasi atau mengorganisir kebencian pada orang lain (melalui orasi,
ideologi, ajaran spiritual, dll) yang berujung pada terjadinya aksi kekerasan
fisik fatal kepada sekelompok orang. Sang jiwa di alam ini mulai merasakan
kesengsaraan mental yang mendalam, akibat proyeksi mental-energi yang tidak
terhingga di alam ini.
5. Lapisan Mahatala, sang jiwa akan lahir di alam ini
karena dalam hidupnya dia melakukan,
a.
menghasut,
b.
mengatur,
c.
memanipulasi,
atau
d.
mengorganisir
kebencian pada orang lain, melalui:
1.
orasi,
2.
ideologi,
3.
ajaran
spiritual, dll,
yang berujung pada terjadinya aksi kekerasan fisik fatal kepada banyak orang.
Sumber kesengsaraan di alam ini adalah akibat perbudakan mental dari jiwa-jiwa
gelap penguasa alam petala serta sang jiwa merasa putus asa akibat kecilnya
peluang untuk bisa bebas dari alam ini.
6. Lapisan Rasatala, sang jiwa akan lahir di alam ini
karena dalam hidupnya dia mendatangkan terjadinya aksi kekerasan fisik fatal
kepada banyak orang di suatu wilayah besar dari suatu negara atau bangsa.
7. Lapisan Patala, sang jiwa akan lahir di alam ini
karena dalam hidupnya dia melakukan,
a.
menghasut,
b.
mengatur,
c.
memanipulasi,
atau
d.
mengorganisir
kebencian pada orang lain;
1.
melalui
orasi,
2.
ideologi,
3.
ajaran
spiritual, dll, yang
berujung pada terjadinya aksi kekerasan fisik fatal kepada banyak orang di satu
negara atau lintas negara (beberapa negara atau bangsa).
Tidak
ada kegelapan yang bisa dihilangkan dengan kegelapan baik rasa takut, sedih,
marah, benci, penuh keinginan, dll, kegelapan hanya bisa hilang dengan cahaya
terang.Sehingga satu-satunya hal yang bisa menyelamatkan dan mengeluarkan kita
dari alam ini adalah,
a.
pikiran
yang bersih,
b.
tenang-seimbang,
d.
serta
penuh welas asih dan kebaikan tidak terbatas kepada semua.
Melakukan meditasi atau japa mantra tertentu juga cukup membantu. Sehingga ketika ada mahluk-mahluk suci dari alam-alam luhur atau dari dunia material yang memiliki welas asih-nya kemudian datang kesini untuk menunjukkan jalan menuju cahaya (menyelamatkan kita), kita bisa secepatnya keluar dari sini.Tapi tanpa bathin kita sendiri bersih serta penuh welas asih dan perilaku kebaikan (subha karma), mereka juga tidak akan bisa mengeluarkan kita dari sini. Sebagaimana disebutkan pula bahwa untuk keharmonisan alam neraka atau sapta petala ini agar seluruh mahluk yang berada di alam ini tidak mengganggu kehidupan bhuwana agung dan manusia itu sendiri sehingga diperlukan sarana kelengkapan pada saat melakukan yadnya sebagai berikut :
Melakukan meditasi atau japa mantra tertentu juga cukup membantu. Sehingga ketika ada mahluk-mahluk suci dari alam-alam luhur atau dari dunia material yang memiliki welas asih-nya kemudian datang kesini untuk menunjukkan jalan menuju cahaya (menyelamatkan kita), kita bisa secepatnya keluar dari sini.Tapi tanpa bathin kita sendiri bersih serta penuh welas asih dan perilaku kebaikan (subha karma), mereka juga tidak akan bisa mengeluarkan kita dari sini. Sebagaimana disebutkan pula bahwa untuk keharmonisan alam neraka atau sapta petala ini agar seluruh mahluk yang berada di alam ini tidak mengganggu kehidupan bhuwana agung dan manusia itu sendiri sehingga diperlukan sarana kelengkapan pada saat melakukan yadnya sebagai berikut :
1.
Penggunaan
daksina
dengan kelapa didalamnya pada sebuah upacara yadnya sebagai simbol dari alam
sapta petala ini.
2.
Pada
upacara ngenteg
linggih, sebagaimana disebutkan pada Puncak Karya Ngenteg Linggih dan Nubung Daging,
diperlukan tetandingan
banten yaitu : Pebangkit / bebangkit selem, catur miwah sorohannyane
guling bawi, sate jerimpen atungguh, pangkonan 4, maulam bawi 4 karang, jauman
aporodan mejaje lebeng andus / mekuskus, rayunan matah lebeng, salaran bebek
selem, ayam selem (hidup), jinah kompolan, beras, ketan, injin, tegen
tegenan genep, pecanangan, galahan sarwa 4, mejinah 4000 keteng, Pecanangan sok
poleng genep isin pecanangan, rantasan seperadeg, guling bawi terus gunung
lebeng asibak (sane asibak kantun mebulu rauh ketendas), mekamben selem,
mebunga, megelang, mebungkung (antuk emas) nyelet arit sudamala, basang
miwah getih bawine matah mawadah payuk anyar metutup tetingkeb asoroh mewastra
selem, bagia pulakerti.
Dalam
pelinggih Sapta Petala ini juga terdapat naga, yang dikatakan itu adalah naga
basuki sebagi lambang kemakmuran. Busana yang dikenakan sama dengan busana
pelinggih yang lain, lebih dominan mengenakan busana putih Kuning yang
merupakan lambang kesucian dan kebijaksanaan.
Kristalisasi
sekte-sekte yang tersebar di Indonesia khususnya di Bali yang terdapat di dalam
merajan dadia ini adalah Menurut pandangan Dr. Goris, ada 9 sekte yang pernah
ada di Bali pada abad IX meliputi sekte Siwa Sidhanta, Brahmana, Resi, Sora
(Surya), Pasupata, Ganapatya, Bhairawa, Waisnawa dan Sogatha (Buddha). (Goris
dalam Nurkancana, 1997 : 134). Diantara ke-9 sekte tersebut, yang paling besar
pengaruhnya di Bali adalah sekte Siwa Sidhanta. Ajaran dari sekte Siwa Sidhanta
termuat dalam lontar Bhuana Kosa.
Pada jaman dahulu
masyarakat Bali lebih dominan menganut agama Siwa. Apabila ditinjau dari segi
jumlah penganut dan pengaruhnya, agama Siwa tergolong lebih besar dari agama
Budha, karena menurut sumber-sumber arkeologi agama Siwa berkembang lebih dulu
dari agama Budha. Agama Siwa yang dipuja ketika ini adalah dari aliran
Siwa-Sidhanta dengan konsep ke-Tuhanannya yang disebut Tri Murti yaitu tiga kemahakuasaan
Hyang Widhi: Brahm, Wisnu, dan Siwa. Ketiga Dewa Tri Murti tadi akhirnya
dimanifestasikan ke dalam setiap desa adat di Bali yang terkenal dengan nama
Pura Kahyangan Tiga, yaitu: Pura Desa/Bale Agung sebagai sthana dari Dewa
Brahma, Pura Puseh sthana Wisnu dan Pura Dalem sthana Siwa. Selain pura-pura
untuk pemujaan Hyang Widhi beserta manifestasinya juga terdapat tempat pemujaan
untuk roh suci leluhur yakni Bhatara/Bhatari yang disebut: Sanggah/Pemerajan,
Dadia/Paibon, Padharman.
Jadi dapat disimpulkan
bahwa di dalam mejaran dadia saya merupakan kristalisasi sekte-sekte yang ada
di Bali. Bisa kita lihat pada pelinggih-pelinggih yang ada di merajan tersebut
yang merupakan stana Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam berbagai manifestasi dan
mempunyai sekte-sekte tersendiri. Seperti Pelinggih Surya merupakan
kristalisasi dari Sekte Sora, Pelinggih bhatara Tiga Sakti merupakan
kristalisasi dari Sang Hyang Tri Murti, Pelinggih Limas Sari merupakan
kristalisasi dari Sekte Wainawa karena merupakan tempat pemujaan untuk sakti
dari Dewa Wisnu yaitu Dewi Sri. Taksu Gede atau pengapit lawang sama dengan
lebuh yang merupakan kristalisasi dari sekte Ganapatya yang fungsinya sebagai
penghalang bala atau menjaga keseimbangan. Pelinggih Menjangan Saluwang
merupakan sebagai simbol untuk menganang jasa Mpu Kuturan karena telah membawa
sekte-sekte tersebut sampai ke Bali. Bisa
Juga dilihat dari system upakara yang di pergunakan sebagai sarana dan
prasarana untuk di persembahkan kepada Dewa yang melingga melinggih ring
merajaan dadia tersebut. Semua upakara yang yang di persembahkan dalam piodalan
di merajan dadia saya menggunakan porosan karena porosan merupakan bahan inti
yang merupakan symbol dari Sang Hyang Tri Murti (Brahma, Visnu, Siva), dan
menggunakan berbagai macam warna bunga yang merupakan symbol dari Dewata Nawa
Sangga.
Refrensi
Gunawan,
I Ketut Pasek. 2012. Pengantar Bahan Ajar Siva Siddhanta I. Denpasar: IHDN
Suhardana, K.M. 2006.
Dasar-Dasar Kepemangkuan. Surabaya : Paramita
Suhardana.
K. M. 2006. Babad Arya (Kisah Perjalanan Para Arya). Surabaya : Paramita
Tidak ada komentar:
Posting Komentar