Rabu, 22 Januari 2014

ARTIKEL ARYA GAJAH PARA

TUGAS INDIVIDU SIVA SIDDHANTA II
MAKNA PELINGGIH MERAJAN DADIA KAWITAN ARYA GAJAHPARA
Dosen Pengampu : I Ketut Pasek Gunawan, S.Pd.H


 







Oleh 


NAMA           : NI KETUT MARTINI DEWI
                       
NIM                : 10.1.1.1.1.3893











JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA HINDU
FAKULTAS DHARMA ACARYA
INSTITUT HINDU DHARMA NEGERI
DENPASAR
2012
           


 





















































1.    SEJARAH PURA KAWITAN ARYA GAJAH PARA
A.    BANCANGAH ARYA GAJAH PARA
 Arya Gajahpara merupakan Arya Kediri keturunan Sri Jayabaya, kisahnya sebagai berikut : Tersebutlah Rahyang Dimaharaja Manu mempunyai putra yang bernama Sri Jaya Langit. Sri Jaya Langit berputra Sri Kandayun, Sri Wretti Kandayun berputra Sri Kameswara. Dan kemudian Sri Kameswara berputra Sri Dharmawangsa Ananta Wikrama Tunggadewa yang terkenal dalam pemerintahannya. Kemudian Sri Dharmawangsa Ananta Wikrama Tunggadewa menurunkan Airlangga dan Sri Tunggul Ametung. Sang Airlangga bertempat di Negeri Daha dan Sri Tunggul Ametung bertempat di Tumapel.
Sri Airlangga berputra Sri Jayabaya dan Sri Jayasabha yang memerintah di Baliaga. Sri Jayabaya berputra Sri Dangdang Gendis dan Sri Siwa Wandira serta Sri Jayakasunu. Dan Sri Dangdang Gendis menurunkan Sri Jayakatong dan Sri Jayakatong menurunkan Sri Jayakatha. Kemudian Sri Siwa Wandhira berputra Sri Jaya Waringin, dan Sri Jaya Kasunu berputra Sri Wirakusuma. Sri Wirakusuma yang meninggalkan tatakrama serta bergelar Raden Patah. Raden Patah mempunyai 2 orang putra yang bernama Pangeran Bajrakusuma dan Pangeran Cakrakusuma. Pangeran Bajrakusuma bertempat di Desa Suluh sedangkan Pangeran Cakrakusuma berada di Yogyakarta.
Diceriterakan putra dari Sri Siwa Wandira yang bernama Sira Jaya Waringin dan Sri Jayakatha merebut Tumapel yang mana dulunya dikalahkan. Pada Çaka 1144 di mana Sri Aji Ken Arok dapat berhasil merebut Prameswari Tunggul Ametung. Pada pemerintahan Ken Arok bersifat keras dan mendambakan menguasai Kendran. Dalam pemerintahan ini Sri Aji Dangdang Gendis moksa dan tidak mempunyai keturunan. Kemudian  Sri Siwa wandira menurunkan Sri Jayawaringin yang selanjutnya menurunkan Sri Kuta Wandira. Kemudian Sri Jayakata menurunkan 3 orang putra bergelar Arya, yakni  Arya Wayahan Dalem Manyeneng, Arya Katanggaran dan Arya Mudata. Arya Wayahan Dalem Manyeneng berputra Sirarya Gajah Para dan Sirarya Getas yang keduanya ini disuruh oleh De Rakryan Mada datang ke Bali. Diceriterakan Sri Jayasabha menurunkan Sirarya Kadiri dan Sirarya Kapakisan. Sirarya Kapakisan tinggal di Bali yang diikuti oleh para ksatria. Sesampainya Sirarya Kapakisan di Samprangan bertemu dengan Bhu-rawuh. Beliau menurunkan Sirarya Asak dan Sirarya Nyuhaya. Pangeran Asak menurunkan Pangeran Nginte dan Pangeran Nginte berputra I Gusti Ngurah Agung Widya dan I Gusti Agung Ngurah Prandawa. I Gusti Ngurah Agung Widya menurunkan I Gusti Agung Kedung, I Gusti Kalanganyar, I Gusti Ketut Kalanganyar I Gusti Kacang Paos, I Gusti Intaran.
I Gusti Prandawa bertempat di Ler dan menurunkan I Gusti Penida, I Gusti Kamasan, I Gusti Kamasan Ketut, I Gusti Sibetan, I Gusti Sampalan, I Gusti Tamesir, I Gusti Ubud, I Gusti Basangkasa, I Gusti Teges dan putranya yang perempuan diambil Dalem serta berputra I Gusti Ngurah Mambal. I Gusti Ngurah Agung Rontal Siyu bertempat di Desa Sangeh. I Gusti Ngurah Agung Gili Gadung bertempat di Desa Blahkiuh. Kiyai Gusti Ngurah Agung Nyuh Gading bertempat di Jro Bakungan. I Gusti Ngurah Agung Gili Tabyan berada di Uma Abyan. Inilah yang menjaga ketentraman Bali.
Diceriterakan Pangeran Nyuhaya Purwa menurunkan putra yang bernama Arya Patandakan, Satra, Pelangan, Kaloping, Cacaran, Akah, Anggan, dan yang putri bernama Ayu Adi serta diambil oleh Kiyai Klapodyana. Kemudian, di Jawa Arya Wayahan Dalem Manyeneng berputra Sirarya Gajah Para dan Sira Arya Getas. Keduanya ini mengiringkan Sri Kresna Kepakisan datang ke Bali. Sira Arya Gajah Para bertempat di Sukangenep. Setelah lama di Sukangenep, lalu pindah ke Bali Jeruk. Setelah itu Kryan Gajah Para mempunyai putra bernama Ni Gusti Ayu Raras, I Gusti Ngurah Toya Anyar dan I Gusti Ngurah Sukangenep. Adapun turunan dari Sirarya Getas adalah 2 orang yang bernama I Gusti Ngurah Getas. I Gusti Kekeran Getas. Sirarya Getas menurunkan 2 orang ini ditinggalkan di Sukangenep Toya Anyar. Kemudian I Gusti Ngurah Toya Anyar memperistri putri Kyayi Ngurah Candi yang bernama Stri Ayu Lor. Dari perkawinan ini lahirlah Gusti Ngurah Tianyar dan Ni Luh Toya Anyar. Ni Gusti Luh Toya Anyar diperistri oleh Pedanda Sakti Manuaba. Putranya yang lahir adalah Ida Wayahan Tianyar, Ida Nyoman Tianyar dan Ida Ketut Tianyar.
Pada suatu ketika datanglah I Gusti Ngurah Tianyar ke Gelgel, di situlah I Gusti Ngurah Kaler bersabda kepadanya agar berpindah ke Gunung Mangun. Tetapi sabda I Gusti Ngurah Kaler tidak dihiraukan, maka marahlah Ida I Gusti Ngurah Kaler sehingga terjadi perselisihan dan akhirnya terbunuhnya I Gusti Ngurah Tianyar. Sang Pandita Sakti Manuaba bersama istrinya I Gusti Istri Agung datang ke Swecapura menghadap kepada Dalem. Kemudian I Gusti Ngurah Batulepang berpindah dari Manuaba karena terjadi suatu peperangan. Adapun keturunan dari Arya Kuta Waringin yang bernama I Gusti Kutakroya berada di Singadwala Buleleng. Kemudian I Gusti Ngurah Ketut Kuramas kawin dengan Mekel Batur Gowindha serta menurunkan I Mekel Sasadon dan I Mekel Kawan. I Mekel Sasadon berputra I Mekel Kumbang dan I Mekel Talutung. Sedangkan I Mekel Kawan menurunkan I Mekel Kawanan. I Mekel Kumbang berputra I Mekel Sura dan I Mekel Gon. I Mekel Sura tinggal di Sibetan, I Mekel Gon terlunta-lunta. I Mekel Kawanan tinggal di Pangawan dan menurunkan I Mekel Rampwana, I Mekel Ngagiati dan I Mekel Ketut Pangawan. I Mekel Rampwana sebagai wakil Pangeran Ketut Abyan. I Gusti Ketut Pangawan berputra Mekel Ngagadati, dan I Mekel Cawe. I Gusti Ngurah Sukangenep berputra I Gusti Ngurah Diratha dan Gusti Ngurah Intaran dan I Gusti Ngurah Sangging. I Gusti Ngurah Diratha, setahun berada di Juntal dan mengambil istri anak De Pasek  Suddhajapa yang bernama Ni Luh Giri, serta menurunkan Gusti Ngurah Bratha, Gusti Ngurah Gde Tianyar, Gusti Ngurah Giri Cakrapatha, dan Gusti Ngurah Gajah Para. Gusti Ngurah Bratha bertempat di Kubu dan beliau belajar kebujanggaan.
Setelah lama belajar kebujanggaan dan menurunkan Gusti Ngurah Arum, Gusti Putu Bhuwana, Gusti Ngurah Bon, Gusti Gede Getas. Gusti Ngurah Giri Cakrapatha menjadi Bendesa di Garbawana. I Gusti Ngurah Gajah Para berpindah di Kubon Culik menjadi Kepala Desa di Desa Tongtongan, dan desa Gamongan, Kemudian di Angantelu. Gusti Ngurah Diratha menetap di Tianyar Sukangenep dan berputra Gusti Ngurah Candha Tianyar, Gusti Ngurah Gada Sukangenep dan I Gusti Ngurah Bhoja. Kemudian I Gusti Ngurah Candha Tianyar menurunkan di Toyanyar Sukangenep banjar Getas. Setelah itu I Gusti Gede Getas mengambil putri dari De Pasek Kubu serta menurunkan I Jro Gede Mladati, I Jero Nengah Bahingin. I Jero Made Panji mengambil Ni Wayan Intaran di Banjar Kanginan, keturunan dari Pangeran Tangkas. Adapun putra dari I Jero Made Panji adalah Jero Jungutan. Jero Made Jungutan mengambil istri 2 orang yang bernama Ni Jro Nengah Banjar dan Ni Ketut Cebod. Ni Jero Nengah Banjar berputra Jro Made Jungutan dan Ni Jro Nyoman Srangkung. Ni Ketut Cebod berasal dari Bondalem dan berputra Jro Wayan Ngon, Jro Made Rai, Jro Nyoman Lasem, dan Jro Ketut Intaran. Anak dari Jro Nengah Banjar yang bernama I Jero Made Jungutan mengambil anak dari I Nengah Kajanan yang bernama Ni Nengah Boyod. I Jro Made Rai mengambil istri ke Tianyar bernama Ni Jro Rai dan menurunkan Ni Jro Luh Putu dan Ni Jro Nengah Putu. I Jero Made Lasem mengambil istri dari Subagan yang bernama Ni Luh Putu dan menurunkan Jro Made Goyah, I Nengah Landuh, dan I Jero Lasem.
Kemudian kembali diceritakan, beliau Arya Gajahpara, bersama saudara beliau Arya Getas didesak oleh raja, sebagai mahapatih raja yang ada di Bali. Beliau menurut ( menyerah ), karena ingat dengan kewajiban sebagai seorang anak, tidak pantas melawan perintah orang tua, demikian motto kepemimpinan beliau, dengan tetap pula melaksanakan keperwiraan utama dan keadilan, kedua Arya tersebut diberikan istri, juga merupakan putra Arya. Tetapi di sana para Arya itu segera diajar tentang kewajiban dan tingkah laku seorang kesatria, oleh ayah beliau, untuk tetap melaksanakan cita-cita kewajiban seorang pahlawan (pemberani). Setelah demikian, kedua Arya itu menyembah dan mohon pamit, berdiri dan segera berangkat. Sekejap telah sampai di pantai laut, segera beliau naik ke perahu, perahu berlayar hilir mudik, setelah melewati pertengahan laut, selanjutnya, berlabuhlah beliau di daerah Pulaki, barat daya Pulau Bali, beliau menumpang di rumah I Gusti Bendesa Pulaki, yang merupakan keluarga keturunan Bendesa Mas. Sangat senang hati I Gusti Bendesa, tulus hatinya dan sangat ramah tamah sambutannya, hormat terhadap kedua Arya itu, seperti berbunga-bunga hati sang tuan rumah, lengkap dengan jamuan penyambutan I Gusti Bendesa Pulaki. Di sana beliau menginap dua malam.
Pagi-pagi pergilah kedua Arya tersebut, diantar oleh I Gusti Bendesa, tujuannya untuk menghadap Sri Maharaja, yang beristana di Samprangan. Tidak habis jika diceritakan perjalanan kedua Arya tersebut, diantar oleh beliau I Gusti Bendesa. Segera tiba di penghadapan, beliau langsung mendekat dan menghadap pada baginda raja. Tak lama antaranya kedua Arya tersebut dipandang oleh sang raja, dengan sopan dan tulus sembah kedua Arya tersebut, demikian pula I Gusti Bendesa, menimbulkan kekaguman setiap yang melihat, orang yang berada di tempat penghadapan, oleh tingkah laku yang baik kedua Arya itu. Ada petunjuk dari sang raja, terhadap kedua Arya, dinobatkan menjadi patih oleh beliau raja penguasa, bertempat di sana di sebelah utara Tohlangkir, bermukim di Sukangeneb penyerangan beliau Mada untuk membunuh raja Bedha Murdhi (Bedahulu), kalahnya Pulau Bali oleh Majapahit.
Menjadi patuhlah Arya itu, dengan segera ditutuplah penghadapan raja. Setelah itu mohon pamitlah beliau pada Sri Maharaja, dan permohonannya dikabulkan, kedua Arya itu berjalan menuju ke utara, diiringkan oleh rakyat sebanyak lima puluh orang, menuju Sukangeneb Toya Anyar. Setibanya di sana, segera beliau membangun rumah, tenanglah penduduk sebelah utara gunung Agung itu, batas sebelah timurnya adalah Basang Alas, sebelah baratnya sampai di Tejakula, sebelah utaranya sampai di desa Got, demikian batas wilayah kerja beliau, wilayah pemerintahan Arya Gajah Para, berdua beserta saudara beliau. Beberapa lama kemudian beliau Arya Gajahpara berdua bersama saudara beliau, hidup di Sukangeneb Toya Anyar, beliau berdua sama-sama memiliki putra. Adapun putra beliau Gajah Para tiga orang laki-laki dan perempuan, laki-laki yang sulung I Gusti Ngurah Toya Anyar, adiknya bernama I Gusti Ngurah Sukangeneb, yang perempuan Ni Gusti Luh Raras, diambil dijadikan istri oleh beliau Sri Raja Wawu Rawuh, untuk sementara sudah dijelaskan. Beliau Arya Getas yang diceritakan sekarang, berputra dua orang laki-laki, yang tertua bernama I Gusti Ngurah Getas, adiknya diberi nama I Gusti Kekeran Getas. Adapun beliau Arya Getas, setelah berputra dua orang diadu oleh Sri Maharaja, disuruh menyerang daerah Selaparang, karena beliau menguasai empat daya upaya yang licin, diikuti oleh seribu enam ratus orang bawahannya, setelah semua lengkap dengan perbekalan dan kendaraan, menjadi penuhlah desa-desa pesisir di sepanjang pantai, beliau bersama semua rakyatnya hilir mudik menaiki perahu.
Setelah itu berhasillah beliau berlabuh di tepi pantai Selaparang, turun dari perahu, berjalan beliau Arya Getas. Rakyat Selaparang menjadi terdiam, oleh karena beliau ( Arya Getas ) berhasil memasang empat daya upaya yang licin, beliau langsung menerobos memasuki semua desa, orang-orang yang berada di Praya semua diam, semua memberi hormat kepada Arya Getas, itu sebabnya ( beliau ) tinggal di Praya sampai sekarang dan mengembangkan keturunan.
Kembali diceritakan, tersebut I Gusti Ngurah Sukangeneb, pindah ke arah barat, diikuti oleh rakyat dengan tiba-tiba, terlunta-lunta perjalanan beliau, sampai tiba di desa Pegametan, bergegas penduduk di sana, disambut oleh I Gusti Bendesa Pegametan, keturunan dari Bendesa Mas, senang hati I Gusti Bendesa sama-sama memohon maaf dengan tulus dan sopan, tidak beberapa lama masuklah di sana I Gusti Ngurah Sukangeneb, bergandeng tangan dengan I Gusti Bendesa, yang menjadi penguasa di Pegametan, masuk ke dalam Puri, duduk di beranda rumah, beliau sama-sama senang saling bertukar pikiran dan berunding, tidak diceritakan jamuan beliau I Gusti Bendesa. Karena saling mengasihi dari dulu. Waktu telah berlalu, sekarang I Gusti Ngurah Sukangeneb, beliau berdiam di Pegametan, menyebabkan I Gusti Bendesa menjadi akrab, dengan I Gusti Sukangeneb. Oleh karena itu dijadikan menantu laki oleh I Gusti Bendesa. I Gusti Ngurah Sukangeneb. Permintaan I Gusti Bendesa agar I Gusti Ngurah Sukangeneb dikawinkan dengan I Gusti Kekeran.
Selanjutnya kembali diceritakan, tersebutlah I Gusti Ngurah Toya Anyar, ada saudara beliau, laki-laki dua orang dan perempuan seorang. Adapun yang tertua I Gusti Ngurah Tianyar, beliau yang dinobatkan menggantikan ayah beliau Arya Gajah Para, yang ketiga mengambil istri I Gusti Ayu Diah Wwesukia, adiknya I Gusti Ngurah Kaler, kawin dengan I Gusti Diah Lor. Adiknya yang bernama I Gusti Luh Tianyar, dijadikan istri oleh Pendeta Sakti Manuaba. Adapun I Gusti Ngurah Getas, dan I Gusti Ngurah Kekeran Getas, beliau tinggal di Sukangeneb, Toya Anyar, beliau sama-sama mengembangkan keturunan. Kemudian kembali dikisahkan, diceritakan I Gusti Ngurah Tianyar, beliau yang dinobatkan menjadi tetua di Toya Anyar, generasi ketiga, putra beliau yang seibu yaitu I Gusti Ayu Diah Wwesukia. Putra tertua ( bernama ) I Gusti Gede Tianyar, yang selanjutnya berdiam dan memiliki keturunan di Kebon Culik, putra kedua ( juga ) laki-laki bernama I Gusti Made Tianyar, yang kemudian tinggal dan berkembang di Sukangeneb Toya Anyar. Putra yang bungsu I Gusti Nyoman Tianyar, beliau ( yang ) lahir di Desa Pamuhugan, tidak berbeda seperti leluhur beliau dahulu, janin itu selamat dalam rahim ibunya yang sangat setia kepada suaminya, berkat anugerah beliau sang raja penguasa di Gelgel, ketiganya itu diijinkan kembali ke Toya Anyar.
Diceriterakan anak angkat dari I Gede Jungutan yang bernama I Gede Polos mengambil istri ke Buddha Ireng yang bernama Ni Jero Nengah Menyir. Putra dari I Wayan Bon bernama I Jero Gde Rogos mengambil istri anak dari Jro Pasek yang bernama Ni Jro Luh Sandat. I Gusti Ngurah Sangging berputra Gusti Ngurah Wayan Subrata dan I Gusti Jatakumbha, serta yang bungsu Gusti Ngurah Ketut Tianyar. I Gusti Ngurah Wayan Subrata tinggal di Sindhu, sedangkan I Gusti Ngurah Jatakumbha pindah ke desa Pangi, sedangkan I Gusti Ngurah Tianyar tinggal di desa Pamuhugan dan mengambil istri serta menurunkan Gusti Wayahan Tianyar, Gusti Nengah Tianyar, Gusti Purnamasadha.

B.     Sanggah Dadia di Desa Tiyingtali, Kecamatan Abang, Karangasem
 Sanggah Pamerajan berasal dari kata: Sanggah, artinya Sanggar = tempat suci; Pamerajan berasal dari Praja = keluarga. Jadi Sanggah Pamerajan artinya = tempat suci bagi suatu keluarga tertentu. Untuk singkatnya orang menyebut secara pendek : Sanggah, atau Merajan. Tidak berarti bahwa Sanggah untuk orang Jaba, sedangkan Merajan untuk Triwangsa. Yang satu ini kekeliruan di masyarakat sejak lama, perlu diluruskan. Sanggah pemerajan ada tiga versi, yaitu :
  1. Yang dibangun mengikuti konsep Mpu Kuturan atau Tri murti pelinggihnya yang letaknya dihulu (kaja-kangin) adalah pelinggih kemulan (Rong tiga, Dua, Satu), tidak memiliki pelinggih Padmasana/Padmasana.
  2. Yang dibangun mengikuti konsep Danghyang Nirarta atau Tri Purusha pelinggihnya yang letaknya dihulu (kaja-kangin) adalah pelinggih Padmasana/Padmasari, sedangkan pelinggih kemulan tidak berada di Utama Mandala.
  3. Kombinasi keduanya. Biasanya di bangun setelah abad ke-14, maka pelinggih Padmasana/Padmasari tetap di hulu namun di sebelahnya ada pelinggih kemulan.
Mengenai Asta Kosala-Kosali
Yang dimaksud dengan Asta Kosala adalah aturan tentang bentuk-bentuk niyasa (symbol) pelinggih, yaitu ukuran panjang, lebar, tinggi, pepalih (tingkatan) dan hiasan. Jika membangun Sanggah pamerajan yang lengkap, bangunan niyasa yang ada dapat "turut" 3, 5, 7, 9, dan 11. "Turut" artinya "berjumlah". Turut 3: Padmasari, Kemulan Rong tiga (pelinggih Hyang Guru atau Tiga Sakti: Brahma, Wisnu, Siwa), dan Taksu. Jenis ini digunakan oleh tiap keluarga di rumahnya masing-masing. Turut 5: Padmasari, Kemulan Rong Tiga, Taksu, Pangrurah, "Baturan Pengayengan" yaitu pelinggih untuk memuja ista dewata yang lain. Turut 7: adalah turut 5 ditambah dengan pelinggih Limas cari (Gunung Agung) dan Limas Catu (Gunung Lebah). Yang dimaksud dengan Gunung Agung dan Gunung Lebah (Batur) adalah symbolisme Hyang Widhi dalam manifestsi yang menciptakan "Rua Bineda" atau dua hal yang selalu berbeda misalnya: lelaki dan perempuan, siang dan malam, dharma dan adharma, dll. Turut 9 adalah turut 7 ditambah dengan pelinggih Sapta Petala dan Manjangan Saluwang. Pelinggih Sapta Petala adalah pemujaan Hyang Widhi sebagai penguasa inti bumi yang menyebabkan manusia dan mahluk lain dapat hidup.
 Manjangan Saluwang adalah pemujaan Mpu Kuturan sebagai Maha Rsi yang paling berjasa mempertahankan Agama Hindu di Bali. Turut 11 adalah turut 9 ditambah pelinggih Gedong Kawitan dan Gedong Ibu. Gedong Kawitan adalah pemujaan leluhur laki-laki yang pertama kali datang di Bali dan yang mengembangkan keturunan. Gedong Ibu adalah pemujaan leluhur dari pihak wanita (istri Kawitan). Cara menempatkan pelinggih-pelinggih itu sesuai dengan konsep Hulu dan Teben, di mana yang diletakkan di hulu adalah Padmasari/Padmasana, sedangkan yang diletakkan di teben adalah pelinggih berikutnya sesuai dengan turut seperti diuraikan di atas. Bila halamannya terbatas sedangkan pelinggihnya perlu banyak, maka letak bangunan dapat berbentuk L yaitu berderet dari pojok hulu ke teben kiri dan keteben kanan.

Keterbatasan sumber tertulis maupun lisan dalam pembuatan tugas ini sehingga penulis kesulitan dan masih mempunyai banyak kekurangan sehingga penulis tidak mampu secara terperinci menjelaskan sanggah tersebut. Dadia ini merupakan dadi terbesar yang ada di desa Tiyingtali dengan jumlah KK yang terbanyak sehingga dadia ini di beri nama Dadia Gede. Keluarga yang mendirikan sanggah ini dan yang merupakan keturunan dari leluhur ini kurang lebih terdiri dari 150 KK (Kepala Keluarga) yang dimana sudah tersebar di berbagai wilayah atau merantau ke berbagai wilayah desa atau kota yang hanya akan berkumpul pada saat pelaksaan piodalan sanggah tersebut. Dadia ini telah mengalami proses perbaikan sebanyak 2 kali dan sekarang juga sedang dalam tahap perbaikan pelinggih menjangan saluwang, limas catu dan limas cari. Pelaksanaan piodalan sanggah ini jatuh pada rahina Purnama sasih Kapitu. Yang dapat penulis gali dalam sanggah tersebut yaitu nama-nama pelinggih yang terdapat dalam sanggah tersebut dan makna masing-masing dari pelinggih tersebut.

a.    Taksu Gede (Pengapit Lawang)
Taksu Gede atau Jro Gede terletak di depan pintu masuk atau di depan gapura Sanggah atau merajan. Jro Gede ini adalah Stana Dewa Gana  atau Dewa Ganesha yang fungsinya sebagai penjaga makhluk-makhluk yang berusaha untuk mengganggu kita. Jro Gede ini merupakan pelinggih yang diadopsi dari sekte Ganapatya atau Dewa Ganesha. Dalam kepercayaan Hindu, Dewa Ganesha adalah dewa pembasmi segala rintangan. Oleh karena itu, pada umumnya patung-patung beliau di bangun di tempat-tempat yang mungkin ada bahaya. Kampuh yang di gunakan dalam jro Gede ini adalah Saput Poleng dimana Saput Poleng atau Hitam Putih ini simbol dari keseimbangan. Biasanya banten  atau sarana upakara yang dipersembahkan di Jro Gede adalah Canang Ketipat dan dibawahnya di dampingi dengan  segehan maca warna.
Biasanya mantra yang dipergunakan untuk memuja Taksu Gede ini yang merupakan stana Dewa Ganesha adalah :
Om Gana-parama twam-ahyam
Gana-tatwa-parayanah
Gana-pranata-labhanam
Suka Gana namo’stu te
Om Asuci-sarwa-pawitram
Sarwa-karya suci-mukti
Bhukti Gana mahottama
Dewa-sukha paripurnam
Om Tesu-karti maha-gana
Mataras te sukha-karyam
Etana sarwa apunyat
Suddha Dewa paripurnam
Om Tesu-karti maha-trepti
Mataras te Bhatarakah
Etasam sarwa-dewanam
Treptayuyam bhawantu te.

b.    Surya
Pelinggih Surya adalah bentuk simbolis yang digunakan sebagai tempat untuk menghaturkan sesaji yang dipersembahkan kepada Bhatara Surya (Dewa Matahari). Sang hyang Surya Raditya sebagai saksi segala kegiatan manusia khusunya ritual yadnya. Dalam hal ini di sinyalir adanya pengaruh sekte Sora (Surya) dalam pendirian pelinggih Surya. Sistem pemujaan Dewa Matahari disebut Surya Sewana dilakukan pada waktu matahari terbit dan matahari terbenam menjadi ciri penganut Sekte Sora. Pustaka lontar yang membentangkan Surya Sewana ini juga terdapat sekarang di Bali. Selain itu yang lebih jelas lagi, setiap ritual agama di Bali selalu dilakukan pemujaan terhadap Dewa Surya sebagai dewa yang memberikan persaksian bahwa seseorang telah melakukan yadnya. (Gunawan, 2012 : 49). Bukti dari kristalisasi sekte ini dalam Siwa Shidanta yang masih kita dapat lihat lainnya adalah penggunaan sebuah mantra yang mengagungkan Dewa Siwa Raditya dalam Kramaning Sembah. Adapun bunyi mantra tersebut, seperti dibawah ini.
Om Adityasya param jyoti
rakta teja nama'stute
sweta pankaja madhyastha
bhaskaraya namo'stute
Terjemahan :
Ya tuhan, Sinar Hyang Surya (Raditya) yang maha hebat. Engkau bersinar merah, hamba memuja engkau. Hyang Surya yang berstana di tengah-tengah terarai putih,. Hamba memuja engkau yang menciptakan sinar matahari berkilauan.
Busana yang dikenakan pelinggih Surya yaitu Kain Putih Kuning yang merupakan simbol dari kesucian dan kebijaksanaan. Banten atau upakara yang dipersembahkan di pelinggih Surya adalah tegteg daksina dan runtutannya canang ketipat kelanan.


c.    Kemulan/ Bhatara Tiga Sakti
Sering terjadi salah pengertian mengenai siapa sebenarnya yang dipuja di pelinggih Kemulan rong Tiga. Hal ini boleh jadi karena dipergunakannya isitilah “Brahma, Visnu, Iswara Dewam dan Trimurti” dalam bersembahyangan di Sanggah Kemulan, sehingga timbul pendapat bahwa yang disembah disitu adalah Ida Sang Hyang Widhi. Pada hal sesungguhnya di sembah di Kemulan adalah Ida Bhatara Guru atau Leluhur yang telah suci. Masalah ini telah diputuskan dalam Seminar Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek-Aspek Agama Hindu dimana ditetapkan bahwa Kemulan Rong Tiga adalah Pelinggih Trimurti/Hyang Kamimitan/Hyang Kemulan.
Menurut Prof. Dr. Tjok Rai Sudharta MA (SARAD No. 41/2003) hal diatas sejalan dengan isi lontar-lontar berikut ini:
1.      Lontar Usana Dewa yang menyatakan sebagai berikut:
Yang berstana pada Sanggah Kemulan adalah Sang Hyang Atma. Di Kemulan rong kanan adalah Para Atma yaitu bapak. Di Kemulan rong kiri adalah Siwa Atma yaitu ibu. Di Kemulan rong tengah adalah wujudnya Brahma, yaitu ibu bapak yang sudah berwujud Sang Hyang Tuduh.
2.      Lontar Gong Besi menyatakan sebagai berikut:
“….pada Kemulan rong kanan sebagai bapak adalah Para Atma. Pada Kemulan rong kiri sebagai ibu namanya Siwa Atma. Pada Kemulan rong tengah wujudnya sebagai Susuna Atma atau leluhur seterusnya, yaitu ibu bapak dalam wujudnya pulang kepada Hyang Kuasa yaitu Sang Hyang Tunggal.
Jadi Lontar-lontar tersebut menekankan bahwa yang berstana di Sanggah Kemulan adalah Atman atau Pitara atau Sang Hyang Guru. Jika ada yang menyatakan bahwa yang berstana di Sanggah Kemulan adalah Trimurti dalam pengertian Ida Sang Hyang Widhi dalam manifestasiNya sebagai Dewa Brahma, Dewa Visnu, dan Dewa Siwa, maka pemikiran itu adalah tidak benar. Tegasnya, Roh suci Leluhur atau Dewa Hyang atau Bhatara Bhatari keluargalah yang distanakan dan disembah di Kemulan Rong Tiga. (Suhardana, 2006:123).
Dalam setiap rumah tangga supaya didirikan Rong Tiga sebagai tempat memuja Tri Murti.  Trimurti, adalah keyakinan stana Sanghyang Widhi sesuai dengan Ang – Ung – Mang (AUM = OM) atau Brahma, Wisnu, Siwa, adalah kedudukan Sanghyang Widhi dalam posisi horizontal, dimana Brahma di arah Daksina (ruang kanan), Wisnu di Uttara (ruang kiri), dan Siwa di Madya (ruang tengah). Siwa sebagai Maha Guru atau Bhatara Guru. Rong Tiga itu selain sebagai tempat memuja Tri Murti, juga difungsikan untuk memuja roh leluhur. Ruang kanan untuk memuja leluhur laki-laki (purusa), ruang kiri untuk memuja leluhur wanita (pradana) sedangkan ruang di tengah-tengah untuk memuja leluhur yang sudah menyatu dengan Bhatara Guru. (Subandi dalam Nurkancana, 1997 : 139). Sudah sangat terlihat jelas yang dipuja adalah tri purusa. Dimana tuhan Hindu adalah Siwa yang paling utama. Banten yang di persembahkan adalah tegteg Daksina dan canang ketipat. Busana yang dikenakan dalam pelinggih kemulan adalah kain putih kuning yang melambangkan symbol kesucian dan kebijaksanaan. Adapun mantra yang di pergunakan dalam pemujaan di pelinggih kemulan yaitu :

 om nama dewa adistanaya
sarwa wiapy waisi waya
padma sana eka pratistaya
ardanasres swarya ya namah

d.    Menjangan Saluang
Sanggah Merajan dan Pura Paibon biasanya memiliki sebuah Pelinggih yang dinamakan Menjangan Saluang. Yang di beberapa daerah tertentu disebut dengan Sanggah lantang karena bentuknya yang panjang. Ciri utamanya adalah bahwa di Pelinggih ini terdapat sebuah kepala menjangan. Berbagai pura lainpun ada juga yang memiliki Pelinggih ini tetapi bentuknya sedikit berbeda, yaitu bentuknya tidak panjang dan bersaka tiga. Mungkin karena sakanya hanya tiga atau kurang satu dari yang lazim, maka Pelinggih ini diberi nama Sakaluang.
Menjangan Saluang yang bentuknya panjang (lantang) terdiri dari tiga rong besar, dimana sebuah rong besar terbagi lagi dalam 6 rong kecil-kecil, sehingga secara keseluruhan menjadi rong 9. Bentuk seperti ini rupanya memang dimaksudkan untuk menunujukkan adanya 3 kelompok besar masyarakat, dimana salah satu diantaranya terdiri dari 6 Sub Sekte Agama. Riwayat singkatnya dapat disampaikan sebagai berikut. Ketika pada 1001 M Mpu Kuturan datang ke Bali, beliau melihat adanya 9 Sekte Agama, yang diperkirakan dapat memecah belah persatuan umat. Karena itu, maka beliau berusaha untuk mempersatukan 3 Kelompok Besar dengan 6 Sub Sekte Agama itu, dengan cara mengadakan pertemuan atau Pesamuhan Agung di desa Bedulu (samuan Tiga). Pesamuhan Agung termaksud dihadiri oleh seluruh unsure masyarakat Bali ketika itu, yaitu:
1.    Unsur masyarakat yang berasal dari Jawa dan beragama Siwa.
2.    Unsur masyarakat yang beragama Buddha Mahayana (Mpu Kuturan dan para pengikutnya).
3.    Unsur masyarakat bali aga yang mewakili 6 Sub Sekte Agama: Sambu, Brahma, Indra, Visnu, Bayu, Kala. Tetapi menurut R. Goris (sekte-sekte di Bali) sekte-sekte itu ada 9, yaitu : Bhairawa, Buddha, Sogata, Brahmana, Ganapati, Rsi, Pasupati, Sora (Surya), Siwa Sidhanta dan Waisnawa.
Apapun nama-nama Sekte tersebut yang penting adanya kesepakatan bahwa ke 6 batang Sub/Sub Sekte termaksud telah mempersatukan dirinya kedalam satu paham yang dinamakan Trimurti, yaitu bahwa Tuhan itu hanya satu, namun mempunyai tiga fungsi yaitu sebagai Pencipta (Brahma), Sebagai Pemelihara (Visnu), dan sebagai Pelebur (Siwa). Paham termaksud sekarang dikenal dengan nama Agama Hindu.
            Untuk menghormati Mpu Kuturan yang telah berjasa mempersatukan umat berbagai Sekte di Bali, maka didirikanlah Pelinggih menjangan Saluang sebagai manifestasi dari bersatunya umat yang tadinya terpecah belah, menjadi pengikut satu aliran baru  bernama Trimurti atau sebagai penganut Agama Hindu. Lebih lanjut bentuk Menjangan Saluang pun terlihat sebagai penggambaran atas ke 3 unsur masyarakat dan 6 Sub Sekte diatas:
1.    Dilihat dari depan, rong paling kanan, mewakili unsur masyarakat yang berasal dari Jawa dan beragama Siwa.
2.    Rong sebelah kirinya, dengan lambang kepala menjangan, mewakili golongan masyarakat pengikut Mpu Kuturan yang beragama Buddha Mahayana.
3.    Rong paling kiri masih dilihat dari depan yang terbagi lagi dalam 6 ruang-ruang kecil, mewakili 6 Sekte Agama dari unsure Bali Aga. Disamping mempersatukan 9 Sekte dan Sub Sekte Agama, maka Pelinggih Menjangan Saluang dipandang sebagai suatu penyatuan pikiran, pandangan dan keinginan keluarga, jadi sebagai lambang persatuan dan kesatuan serta kerukunan rumah tangga dan keluarga.   
Wastra yang dkenakan dalam menjangan saluwang adalah putih kuning yang merupakan lambang kesucian dan kebijaksanaan. Banten yang di persembahkan adalah canang ketipat. Adapun mantra yang dipergunakan dalam pemujaan menjangan saluwang adalah
Om Ang Mang Dewi Dimuteri Bhuwana
Triyo pratisthabhyo samudra
Jagat gurubhyo namah swaha
Om Ah sukla Dewi Maha laksmi
Sri Giripati Sukla Pawitrani Swaha.


e.    Bhatara Kawitan
Pada pelinggih kawitan ini atau Bhatara kawitan terdapat tumpang-tumpang pada atap penggih tersebut. Ini merupakan ciri dari pelinggih tersebut dan merupakan makna dari kawitan. Sebenarnya makna Bhatara kawitan ini merupakan untuk memuja leluhur kita yang terdahulu telah menyelamatkan keturunannya pada saat medan perang. Di setiap sanggah atau pemerajan selalu ada pelinggih kawitan ini menandakan bahwa kita menyungsung Bhatara kawitan pada saat diadakannya piodalan dari rumah karena tidak sempat untuk tangkil ke Pura Kawitan jadi kita bisa ngawat dari merajan saja. Busana yang digunakan pada pelinggih ini adalah putih kuning. Dan banten yang dipersembahkan adalah tegteg daksina dan canang ketipat.
Mantra Bhatara Kawitan
Om Brahma Visnu Iswara Dewam
Jiwatmanam Tri lokanam
Sarwa Jagat Pratistanam
Sudha klesa winasanam
Om guru paduka dipata ya namah

f.      Bale pelik
Bale Pepelik fungsinya hampir sama dengan bale agung, dalam artian tempat berkumpulnya atau pertemuan dari para dewa yang ada kaitannya dengan kahyangan tempat piodalan tersebut.
Mantra Bale Pelik
Om Ang Pradana Purusa Sang Yoga ya
Wisnu Dewa Ya Bhoktra jagatnatha
Dewa Dewa ya dini sang yoga ya parama swaha
Ing Ung sarwa Dewa Dewi pratistha.




g.    Pelinggih Limas Catu
Pelinggih Limas Catu adalah simbol pemujaan untuk sakti dari Dewa Wisnu sebagai pemberi kemakmuran kepada manusia. Yang sering di sebut dengan Pelinggih Sri Rambut Sedana.

h.   Pelinggih Paibon ( Ibu)
Merupakan pemujaan terhadap leluhur, fungsinya sama seperti kemulan atau rong tiga. Yang berstana di pelinggih hyang ibu adalah leluhur sebagai dewa hyang atau batara-batari. Busana yang digunakan atau Wastra yang digunakan dalam pelinggih Hyang Ibu Atau Batara-Batari yaitu: kain berwarna poleng. Makna warna kain putih sebagai simbol kesucian. Banten yang di haturkan di pelinggih Hyang Ibu atau Batara-batari dalam piodalannya: Banten Soroan Tumpeng Pitu. Makna banten Soroan Tumpeng Pitu adalah gabungan beberapa banten yang disi yang jumlahnya tujuh tumpeng. Banten-banten yang ada dalam banten soroan tumpeng pitu antara lain: sesayut, tipat blayad, Ceper tulung, peras penyeneng, ajengan, tulung pengambean tumpeng 2, tulung pengambean tumpeng cerik 3, dapetang, ajuman, pajegan, pasucian, ulamne bayuh, kawisan, japitan.
Mantram Gedong Paibon :
Om ing Indra Dewa taya namah swaha
Mang Ung Ang Ang Ung Mang
Om Hrang Hrung sah
Tri purusha narendra namah
Ang Ang Ang Prabhawati sarwa jiwa
Mrtha ya namah swaha

i.      Taksu Pacalang
Pelinggih ini merupakan stana dari Dewa Gana yang berfungsi sebagai pembasmi rintangan, halangan ataupun kejahatan-kehajatan di dalam pekarangan merajan. Hal ini diambil dari Kata Pecalang yang artinya menjaga atau menyeimbangkan jalannya upacara pada saat piodalan berlangsung. Pelinggih mengenakan saput poleng yang merupakan simbol keseimbangan.


j.      Sapta Petala
Merupakan pelinggih untuk memuja Sang Hyang Widhi dalam wujud manifestasi sebagai pertiwi dengan Tujuh lapis, yaitu :
1.    Lapisan Atala, sang jiwa akan lahir di alam ini karena dalam hidupnya dia baik secara fisik maupun melalui perkataan
a.                                 hinaan, 
b.                                 fitnah,
c.         penipuan, 
d.                                manipulasi, 
e.                                 ajaran spiritual palsu, 
f.         hasutan, dll, yang menyebabkan seseorang mengalami kesengsaraan berkepanjangan. Sumber kesengsaraan di alam ini adalah pikiran dan memory akan rasa marah, tersinggung, rasa sakit fisik, rasa bersalah, dll. Sumber kebahagiaan utama di alam ini adalah pikiran dan memory akan kasih sayang dan kebaikan yang pernah dilakukan.
2.    Lapisan Witala, sang jiwa akan lahir di alam ini karena dalam hidupnya menyebabkan sekelompok orang mengalami kesengsaraan berkepanjangan. Misalnya saja :
a.          melakukan penipuan besar kepada sekelompok orang, 
b.     mengeksploitasi tenaga kerja, dll, Dan sumber kesengsaraan di alam ini adalah pikiran dan memory akan berbagai keinginan-keinginan pikiran yang tidak terpenuhi seperti karir, pendidikan, rasa sayang dari anak-anak, dll.
3.    Lapisan Sutala, sang jiwa akan lahir di alam ini karena dalam hidupnya dia baik secara fisik maupun melalui perkataan yang menyebabkan banyak orang mengalami kesengsaraan berkepanjangan. Misalnya saja (hanya contoh),
    1. meracuni makanan atau obat-obatan,
      1. formalin, 
      2. methanol, 
      3. zat berbahaya,
      4. obat dengan dosis tidak sehat dll
    2. memproduksi narkoba, 
    3. melakukan korupsi dengan dampak besar, dll. Sumber kesengsaraan di alam ini adalah pikiran dan memory akan berbagai keinginan-keinginan badan dan pikiran yang tidak terpenuhi.
4.    Lapisan Talatala, kita mulai memasuki lapisan alam negatif (pertama) yang merupakan habitat bagi jiwa-jiwa yang sedikit punya rasa kasih sayang dan dominan punya bathin gelap seperti : 
a.     kemarahan, 
b.     dendam, 
c.     iri hati, dan 
d.     kebencian. 
e.     Sang jiwa akan lahir di alam ini karena dalam hidupnya dia melakukan, menghasut, mengatur, memanipulasi atau mengorganisir kebencian pada orang lain (melalui orasi, ideologi, ajaran spiritual, dll) yang berujung pada terjadinya aksi kekerasan fisik fatal kepada sekelompok orang. Sang jiwa di alam ini mulai merasakan kesengsaraan mental yang mendalam, akibat proyeksi mental-energi yang tidak terhingga di alam ini.
5.    Lapisan Mahatala, sang jiwa akan lahir di alam ini karena dalam hidupnya dia melakukan, 
a.     menghasut, 
b.     mengatur, 
c.     memanipulasi, atau 
d.     mengorganisir kebencian pada orang lain, melalui:
1.     orasi, 
2.     ideologi, 
3.     ajaran spiritual, dll, yang berujung pada terjadinya aksi kekerasan fisik fatal kepada banyak orang. Sumber kesengsaraan di alam ini adalah akibat perbudakan mental dari jiwa-jiwa gelap penguasa alam petala serta sang jiwa merasa putus asa akibat kecilnya peluang untuk bisa bebas dari alam ini.
6.    Lapisan Rasatala, sang jiwa akan lahir di alam ini karena dalam hidupnya dia mendatangkan terjadinya aksi kekerasan fisik fatal kepada banyak orang di suatu wilayah besar dari suatu negara atau bangsa.
7.    Lapisan Patala, sang jiwa akan lahir di alam ini karena dalam hidupnya dia melakukan, 
a.     menghasut, 
b.     mengatur, 
c.     memanipulasi, atau 
d.     mengorganisir kebencian pada orang lain;
1.     melalui orasi, 
2.     ideologi, 
3.     ajaran spiritual, dll, yang berujung pada terjadinya aksi kekerasan fisik fatal kepada banyak orang di satu negara atau lintas negara (beberapa negara atau bangsa).
Tidak ada kegelapan yang bisa dihilangkan dengan kegelapan baik rasa takut, sedih, marah, benci, penuh keinginan, dll, kegelapan hanya bisa hilang dengan cahaya terang.Sehingga satu-satunya hal yang bisa menyelamatkan dan mengeluarkan kita dari alam ini adalah,
a.     pikiran yang bersih, 
b.     tenang-seimbang, 
c.     bebas dari sad ripu 
d.     serta penuh welas asih dan kebaikan tidak terbatas kepada semua.
Melakukan meditasi atau japa mantra tertentu juga cukup membantu. Sehingga ketika ada mahluk-mahluk suci dari alam-alam luhur atau dari dunia material yang memiliki welas asih-nya kemudian datang kesini untuk menunjukkan jalan menuju cahaya (menyelamatkan kita), kita bisa secepatnya keluar dari sini.Tapi tanpa bathin kita sendiri bersih serta penuh welas asih dan perilaku kebaikan (subha karma), mereka juga tidak akan bisa mengeluarkan kita dari sini. Sebagaimana disebutkan pula bahwa untuk keharmonisan alam neraka atau sapta petala ini agar seluruh mahluk yang berada di alam ini tidak mengganggu kehidupan bhuwana agung dan manusia itu sendiri sehingga diperlukan sarana kelengkapan pada saat melakukan yadnya sebagai berikut :
1.     Penggunaan daksina dengan kelapa didalamnya pada sebuah upacara yadnya sebagai simbol dari alam sapta petala ini.
2.     Pada upacara ngenteg linggih, sebagaimana disebutkan pada Puncak Karya Ngenteg Linggih dan Nubung Daging, diperlukan tetandingan banten yaitu : Pebangkit / bebangkit selem, catur miwah sorohannyane guling bawi, sate jerimpen atungguh, pangkonan 4, maulam bawi 4 karang, jauman aporodan mejaje lebeng andus / mekuskus, rayunan matah lebeng, salaran bebek selem, ayam selem (hidup), jinah kompolan, beras, ketan, injin, tegen tegenan genep, pecanangan, galahan sarwa 4, mejinah 4000 keteng, Pecanangan sok poleng genep isin pecanangan, rantasan seperadeg, guling bawi terus gunung lebeng asibak (sane asibak kantun mebulu rauh ketendas), mekamben selem, mebunga, megelang, mebungkung (antuk emas) nyelet arit sudamala, basang miwah getih bawine matah mawadah payuk anyar metutup tetingkeb asoroh mewastra selem, bagia pulakerti
Dalam pelinggih Sapta Petala ini juga terdapat naga, yang dikatakan itu adalah naga basuki sebagi lambang kemakmuran. Busana yang dikenakan sama dengan busana pelinggih yang lain, lebih dominan mengenakan busana putih Kuning yang merupakan lambang kesucian dan kebijaksanaan.
Kristalisasi sekte-sekte yang tersebar di Indonesia khususnya di Bali yang terdapat di dalam merajan dadia ini adalah Menurut pandangan Dr. Goris, ada 9 sekte yang pernah ada di Bali pada abad IX meliputi sekte Siwa Sidhanta, Brahmana, Resi, Sora (Surya), Pasupata, Ganapatya, Bhairawa, Waisnawa dan Sogatha (Buddha). (Goris dalam Nurkancana, 1997 : 134). Diantara ke-9 sekte tersebut, yang paling besar pengaruhnya di Bali adalah sekte Siwa Sidhanta. Ajaran dari sekte Siwa Sidhanta termuat dalam lontar Bhuana Kosa.
Pada jaman dahulu masyarakat Bali lebih dominan menganut agama Siwa. Apabila ditinjau dari segi jumlah penganut dan pengaruhnya, agama Siwa tergolong lebih besar dari agama Budha, karena menurut sumber-sumber arkeologi agama Siwa berkembang lebih dulu dari agama Budha. Agama Siwa yang dipuja ketika ini adalah dari aliran Siwa-Sidhanta dengan konsep ke-Tuhanannya yang disebut Tri Murti yaitu tiga kemahakuasaan Hyang Widhi: Brahm, Wisnu, dan Siwa. Ketiga Dewa Tri Murti tadi akhirnya dimanifestasikan ke dalam setiap desa adat di Bali yang terkenal dengan nama Pura Kahyangan Tiga, yaitu: Pura Desa/Bale Agung sebagai sthana dari Dewa Brahma, Pura Puseh sthana Wisnu dan Pura Dalem sthana Siwa. Selain pura-pura untuk pemujaan Hyang Widhi beserta manifestasinya juga terdapat tempat pemujaan untuk roh suci leluhur yakni Bhatara/Bhatari yang disebut: Sanggah/Pemerajan, Dadia/Paibon, Padharman.
Jadi dapat disimpulkan bahwa di dalam mejaran dadia saya merupakan kristalisasi sekte-sekte yang ada di Bali. Bisa kita lihat pada pelinggih-pelinggih yang ada di merajan tersebut yang merupakan stana Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam berbagai manifestasi dan mempunyai sekte-sekte tersendiri. Seperti Pelinggih Surya merupakan kristalisasi dari Sekte Sora, Pelinggih bhatara Tiga Sakti merupakan kristalisasi dari Sang Hyang Tri Murti, Pelinggih Limas Sari merupakan kristalisasi dari Sekte Wainawa karena merupakan tempat pemujaan untuk sakti dari Dewa Wisnu yaitu Dewi Sri. Taksu Gede atau pengapit lawang sama dengan lebuh yang merupakan kristalisasi dari sekte Ganapatya yang fungsinya sebagai penghalang bala atau menjaga keseimbangan. Pelinggih Menjangan Saluwang merupakan sebagai simbol untuk menganang jasa Mpu Kuturan karena telah membawa sekte-sekte tersebut sampai ke Bali.  Bisa Juga dilihat dari system upakara yang di pergunakan sebagai sarana dan prasarana untuk di persembahkan kepada Dewa yang melingga melinggih ring merajaan dadia tersebut. Semua upakara yang yang di persembahkan dalam piodalan di merajan dadia saya menggunakan porosan karena porosan merupakan bahan inti yang merupakan symbol dari Sang Hyang Tri Murti (Brahma, Visnu, Siva), dan menggunakan berbagai macam warna bunga yang merupakan symbol dari Dewata Nawa Sangga.

Refrensi
Gunawan, I Ketut Pasek. 2012. Pengantar Bahan Ajar Siva Siddhanta I. Denpasar: IHDN
Suhardana, K.M. 2006. Dasar-Dasar Kepemangkuan. Surabaya : Paramita
Suhardana. K. M. 2006. Babad Arya (Kisah Perjalanan Para Arya). Surabaya : Paramita














Tidak ada komentar:

Posting Komentar