NAMA : NI KETUT MARTINI DEWI
NIM : 10.1.1.1.1.3893
KELAS : PAHB / IV
I. Definisi
Śiva dan keseluruhan tentang Śiwa, berikut penjelasannya :
Sesungguhnya agama Hindu adalah agama tertua di dunia,
hal itu bisa dibuktikan dalam usia penelitian kitab-kitab Weda yang dilontarkan
oleh para ahli bahwa agama yang berasal dari benua India ini tumbuh dan
berkembang pada sekitar 6000 tahun sebelum masehi.
Bahkan dalam ekspedisi penggalian di Mesir telah
ditemukan sebuah inskripsi yang diketahui berangka tahun 1200 SM. Isinya adalah
perjanjian antara Ramses II dengan Hitites. Dalam perjanjian tersebut juga ada
istilah ‘Maitra Waruna’ yaitu sebagai gelar manisfestasi Sang Hyang Widhi
Wasa yang menurut agama Hindu disebut-sebut dalam Weda disebut saksi.
Dalam kitab suci Reg Weda, Weda yang pertama,
disebutkan adanya 33 Dewa, yang mana ketiga puluh tiga Dewa tersebut merupakan
manifestasi dari kemahakuasaan Tuhan Yang Maha Esa. Salah
satu dari ke 33 dewa tersebut adalah Dewa Śiva.
Śiva
adalah salah satu dari tiga dewa utama (Trimurti)
dalam agama Hindu. Kedua dewa lainnya adalah Brahma dan Wisnu. Dalam ajaran agama Hindu,
Dewa Śiva adalah dewa
pelebur, bertugas melebur segala sesuatu yang sudah usang dan tidak layak
berada di dunia fana lagi sehingga harus dikembalikan kepada asalnya. Oleh umat
Hindu Bali, dalam wilayah desa
pakraman Dewa Śiva dipuja di Pura Dalem, sebagai dewa yang mengembalikan
manusia ke unsurnya, menjadi Panca Maha Bhuta.
Dalam pengider Dewata Nawa
Sangga (Nawa Dewata), Dewa Śiva menempati arah tengah dengan warna
panca warna. Ia bersenjata padma dan mengendarai lembu Nandini.
Aksara sucinya I
dan Ya. Ia dipuja di Pura Besakih.
Dalam tradisi Indonesia
lainnya, kadangkala Dewa Śiva disebut dengan nama Batara Guru.
Menurut cerita-cerita keagamaan yang terdapat dalam kitab-kitab suci umat Hindu, Dewa Śiva memiliki
putra-putra yang lahir dengan sengaja ataupun tidak disengaja. Beberapa putra
Dewa Śiva tersebut yakni: Dewa Kumara (Kartikeya), Dewa Kala,
Dewa Ganesa.
Menurut
I Wayan Maswinara arti sebenarnya dari Śiva
adalah Alam Semesta ini “tertidur” setelah pemusnahan dan sebelum siklus
penciptaan berikutnya. Semua yang lahir harus mati. Segala yang dihasilkan
harus dipisahkan dan dihancurkan. Ini merupakan hukum yang tidak dapat
dilanggar. Prinsip yang menyebabkan keterpisahan ini, daya dibalik penghancuran
ini adalah Śiva. Tapi sejauh lebih daripada itu, keterpisahan Alam Semesta
berakhir pada pengurangan tertinggi, menjadi kekosongan tanpa batas. Kekosongan
tanpa batas, adalah bagian dari keberadaan, dari mana berulang – ulang muncul
alam semesta yang tampaknya tanpa batas ini, adalah Śiva. Dengan demikian,
walaupun Śiva dilukiskan sebagai yang bertanggung jawab terhadap penciptaan dan
pemeliharaan keberadaan ini. Jadi Brahma dan Wisnu juga disebut Śiva. Dalam
pengertian Kanda Pat Dewa Śiva tidak lain adalah Brahman itu sendiri, maka
wajarlah kalau semua dewa lahir dan lebur kembali kepada – Nya. Seperti yang
sudah dijelaskan diatas bahwa, “Brahman datang kepada pemikiran”, Dia tidak
dapat dicapai oleh pemikiran. Tetapi kapankah Dia datang ?. Dia datang pada
saat gejolak pemikiran tidak ada lagi. Dia hanya datang dalam situasi yang
dikendalikan oleh Śiva. Seperti yang dikatakan oleh Mitologi Hindu Śiva adalah
pengembara di malam hari. Dia dapat dihubungi hanya dalam kegelapan malam. Maka
pada malam harilah, dan hanya disitu saja, Śiva menyampaikan isyarat – isyarat,
atau ajaran – ajaran rahasia lewat saktinya Dewi Uma.Dewa Śiva melambangkan
aspek dari kenyataan yang Mutlak (Brahman dalam Upanisad) yang secara terus
menerus menciptakan kembali, dalam siklus proses penciptaan, pemeliharaan dan
peleburan dan penciptaan kembali. Ia menghilangkan kejahatan, menganugrahkan
anugrah, memberikan berkah, menghancurkan ketidakpedulian, dan membangkitkan kebijaksanaan
pada pemujaannya. (Yendra, 2009: 39 – 40)
Dewa
Śiva digambarkan dalam bentuk manusia. Tubuhnya telanjang dan dipenuhi dengan
abu. Tubuh yang telanjang melambangkan bahwa Ia bebas dari keterikatan pada
benda material didunia, abu melambangkan intisari dari semua benda dan makhluk
didunia. Abu pada tubuh dewa melambangkan bahwa Ia adalah sumber dari seluruh
penciptaan yang berasal dari dalam dirinya.Dewa Śiwa yang bemata Dewa Śiva memiliki tiga mata,yaitu phala
netra, agni netra, dan triloka netra. Dua matanya pada bagian kiri dan kanan
melambangkan aktifitas fisiknya di dunia. Yang ketiga di pusat dahinya yang
melambangkan pengetahuan (jñāna), dan ini disebut dengan mata kebijaksanaan
atau pengetahuan. Kekuatan pandangan mata ketiga Śiva menghancurkan kejahatan,
dan ini adalah mengapa orang berbuat kejahatan sangat takut dengan mat
ketigaNya. Kekuatan penghancur Śiva dilambangkan oleh ular di sekitar lehernya.
Dalam purana yang lain dikatakan juga bahwa ular tersebut berfungsi untuk
mencegah racun yang diminum saat para dewa dan asura memperebutkan tirtha
amertha masuk kedalam tubuh dewa Śiva. Dalam berbagai gambar Śiva digambarkan
memegang Trisula di tangan belakang, Dalam Śiva Purana disebutkan bahwa Dewa yang bersenjatakan Trisula , Brahman
yang agung, yaitu Śiva adalah asal mula penciptaan, pemeliharaan, dan
penghancuran, pelenyapan, serta pemberkatan. Tanpa campur tangan beliau maka
tidak seujung rambut pun benda atau makhluk bisa dihancurkan. Sebuah
Trisula memiliki tiga ujung, yang menandakan tiga sifat alam : sattva (keaktifan), rajas (kegiatan), dan tamas
(ketidakaktifan). Trisula melambangkan bahwa dewa jauh dari jangkauan ketiga
sifat alam ini. Trisula juga melambangkan senjata yang digunakan Dewa untuk
menghancurkan kejahatan dan ketidakpedulian di dunia, Trisula senjata yang
utama Siva, ada pula senjata lain disebut Pinaka, oleh karena itu Siva disebut
dengan nama Pinakapani (Siva yang memegang Pinaka di tangannya). Siva
digambarkan memiliki 2,2,8, dan 10 tangan. Disamping membawa Pinaka, Śiva juga
memegang Tongkat yang dinamakan Khatyanga, busur (Ajagava), seekor menjangan,
genitri, tengkorak, damaru (gendang kecil), dan benda-benda suci lainnya. (Gunawan,
2012: 60)
Sebuah Damaru
(kendang kecil) yang menghasilkan suara yang bergetar. Seperti yang disebut kan
dalam kitab Hindu suara yang bergetar dari suku kata Oṁ yang suci dipercaya
sebagai sumber dari penciptaan. Sebuah damaru
pada salah satu tangan mengandung makna bahwa ia menyangga seluruh ciptaan di
tangannya, mengatur sesuai dengan keinginannya. Di dalam kitab purana dijelaskan hiasan yang di gunakan oleh Deva Śiva. Istri para rsi terpikat kepada Śiva, yang
sekali waktu tampil dengan mengenakan pakaian seperti peminta-minta. Para rsi
sangat marah terhadap Śiva atas penampilannya itu dan ingin membunuhnya. Dari
lobang yang di gali, muncul seekor harimau. Śiva membunuh harimau itu dan
mengambil kulitnya. Seekor menjangan mengikuti harimau dan juga muncul dari
lubang yang sama. Śiva memegang binatang itu dengan tangan kirinya. Selanjutnya
muncul dari lubang itu tongkat besi panas berwarna merah. Śiva mengambil
tongkat itu dan menjadikan senjatanya. Terahir dari lubang muncul beberapa ular
kobra dan siva mengambil ular dan mengenakan sebagai hiasan.
Karena
harimau menyimbolkan kekuatan, kulit harimau yang menjadi tempat duduk Dewa
Śiva melambangkan Ia adalah sumber dari kekuatan yang pasti yang Ia kendalikan
sesuai dengan keinginanNya. Bulan sabit yang terlihat pada kepala Dewa Śiva
sebagai hiasan, dan bukan menjadi bagian dari tubuhNya. Pembahasan dan
pengecilan bulan melambangkan siklus waktu dimana penciptaan ada didalamnya
dari awal sampai akhir dan kembali ke awal lagi. Karena Tuhan adalah Kenyataan
yang Abadi, bulan sabit hanyalah hiasan dan bukan bagian penting diriNya. Bulan
juga melambangkan sifat hati seperti cinta, kebaikan, dan kasih. Bulan sabit
yang dekat dengan kepala Dewa memilki makna bahwa seorang pemuja harus
mengembangkan sifat – sifat ini agar dapat lebih dekat dengan Dewa. Śiva digambarkan
duduk di kuburan, yang melambangkan kemutlakannya untuk mengendalikan kelahiran
dan kematian Seekor sapi, yang dikenal dengan nama Nandi, yang dihubungkan
dengan Śiva dan dikatakan sebagai kendaraannya. Sapi jantan ini melambangkan
kekuatan dan ketidakpedulian. Śiva mengendarai sapi menandakan bahwa Śiva
menghilangkan ketidakpedulian dan menganugerahkan kekuatan kebijaksanaan pada
pemujanya. Sapi dalam Sanskṛtanya Vṛṣa.
Dalam bahasa Sanskṛta Vṛṣa juga
berarti Dharma (kebenaran). Sehingga sapi disamping Śiva melambangkan
persahabatan abadi dan kebenaran. Nandi juga melambangkan kesadaran seseorang (sṛṣṭa puruṣa) atau manusia yang
sempurna, yang terserap secara permanen dalam pandangan Kenyataan. (
Referensi
:
Gunawan,
I Ketut Pasek. 2012. Pengantar Bahan Ajar Siva Siddhanta I. Denpasar: IHDN
Pandit.
Bansi. 2006. Pemikiran Hindu Pokok-Pokok Pikiran Agama Hindu. Surabaya:
Paramita
Yendra
I Wayan. 2009. Kanda Empat Dewa (Manusia Setengah Dewa Sakti Manderaguna). Surabaya: Paramita
II.
Carilah Siva Sidhanta dalam panca yadnya, kristalisasi sekte – sekte yang di
Bali menjadi Siwa Sidhanta dalam bentuk panca yadnya. Buktikan kalau itu benar!
Sebelum
kita membahas kristalisasi sekte – sekte di Bali di bawa dalam bentuk panca
yadnya, kita terlebih dahulu perlu mengetahui macam – macam sekte beserta
penjelasannya.
Agama Hindu berkembang menjadi banyak
sekte. Ini disebabkan karena Weda tidak diwahyukan kepada seorang Maha – Rsi
saja, dan juga tidak diwahyukan dalam kurun waktu yang sama dan diwahyukan pula
di tempat yang berbeda. Ada tujuh Maha Rsi yang menerima wahyu Weda,
yaitu:Maha-Rsi Grtsamada, Maha-Rsi Wiswamitra, Maha-Rsi Wamadewa, Maha-Rsi
Atri, Maha-Rsi Bharadwaja, Maha-Rsi Wasistha dan Maha-Rsi Kanwa. Ketujuh
Maha-Rsi itu menafsirkan wahyu-wahyu yang diterima, kemudian mendirikan
perguruan-perguruan serta mempunyai murid atau pengikut masing-masing. Inilah
bentuk awal dari adanya sekte-sekte Agama Hindu. Menurut Dr. Goris, sekte-sekte
yang pernah ada di Bali setelah abad IX meliputi Siwa Sidhanta, Brahmana, Resi,
Sora, Pasupata, Ganapatya, Bhairawa, Waisnawa, dan Sogatha (Goris, 1974: 10-12).
Di antara sekte-sekte tersebut, yang paling besar pengaruhnya di Bali sekte
Siwa Sidhanta. Ajaran Siwa Sidhanta termuat dalam lontar Bhuanakosa.
Sekte
Siwa memiliki cabang yang banyak. Antara lain Pasupata, Kalamukha, Bhairawa,
Linggayat dan Siwa Sidhanta yang paling besar pengikutnya. Kata Sidhanta
berarti inti atau kesimpulan. Jadi Siwa Sidhanta berarti kesimpulan atau inti
dari ajaran Siwaisme. Siwa Sidhanta ini mengutamakan pemujaan kehadapan Tri
Purusha yaitu Parama Siwa, Sada Siwa dan Siwa. Brahma, Wisnu dan dewa-dewa
lainnya tetap dipuja sesuai dengan tempat dan fungsinya karena semua dewa-dewa
itu tidak lain dari manifestasi Siwa sesuai dengan fungsinya yang berbeda-beda.
Siwa Sidhanta ini mula-mula berkembang di India Tengah (Madyapradesh) yang kemudian
disebarkan ke India selatan dipimpin oleh Maharesi Agastya.
Penganut
Hindu dari sekte Siwa Siddhanta meyakini Tuhan adalah Siwa. Salah satu bentuk
pemujaan Siwa yang dilakukan oleh pada Pendeta Siwa adalah dengan mengucapkan
mantra yang disebut sebagai Mantra Catur Dasa Siwa, yakni empat belas wujud
Siwa. Mantra ini digunakan untuk mendapat pengaruh anugerah yang kuat dan suci
serta untuk mendapat kebahagian sekala – niskala. Ajaran Siwa Siddhanta di Bali
terdiri dari tiga kerangka utama yaitu Tattwa, Susila dan Upacara keagamaan.
Tatwa atau filosofi yang mendasarinya adalah ajaran Siwa Tattwa. Di dalan Siwa
Tattwa, Sang Hyang Widhi adalah Ida Bhatara Siwa. Dalam lontar Jnana Siddhanta
dinyatakan bahwa Ida Bhatara Siwa adalah Esa yang bermanifestasi beraneka
menjadi Bhatara - Bhatari.
Sekte
Pasupata juga merupakan sekte pemuja Siwa. Bedanya dengan Siwa Sidhanta adalah
dalam cara pemujaannya. Cara pemujaan sekte Pasupata adalah dengan menggunakan
lingga sebagai simbol tempat turunnya/berstananya Dewa Siwa. Jadi penyembahan
Lingga sebagai lambang Siwa adalah merupakan ciri khas sekte Pasupata.
Perkembangannya sekte Pasupata di Bali adalah dengan adanya pemujaan Lingga. Di
beberapa tempat terutama di beberapa pura yang tergolong kuno terdapat Lingga
dalam jumlah besar. Ada yang dibuat berlandaskan konsepsi yang sempurna dan ada
pula dibuat sangat sederhana sehingga merupakan Lingga semu. Pemujaan Lingga
sebagai lambang Dewa Siwa adalah merupakan ciri-ciri khas aliran Pasupata.
Sekte Waisnawa di Bali
dengan jelas diberikan petunjuk dalam konsepsi agama Hindu di Bali tentang
pemujaan Dewi Sri. Dewi Sri dipandang sebagai pemberi rejeki, pemberi
kebahagiaan dan kemakmuran. Di kalangan petani di Bali Dewi Sri dipandang
sebagai Dewanya padi yang merupakan keperluan hidup yang utama.
Ceritera-ceritera mengenai Awatara Wisnu ke dunia untuk menyelamatkan dunia
dari kehancuran akibat dominasi adharma juga dikenal dan sangat popular di Bali
dan ini pula bukti berkembangnya sekte Waisnawa di Bali. Bukti lain yang menguatkan berkembangnya sekte waisnawa
di Bali yakni dengan berkembangnya warga Rsi Bujangga. Praktek-praktek ritual
dari Saiwa Siddhanta dengan warna Tantrik dapat kita lihat dari ritual para
Pendeta di Bali seperti dalam pelaksanaan Suryasevana dengan patangan atau
mudra serta mantra-mantra ( Stuti dan Stava ). Waisnawa Sampradaya memiliki
peninggalan dalam tradisi adalah pemujaan kepada Dewi Sri sebagai Dewi
kemakmuran. Sri adalah sakti dari Dewa Wisnu sedang Wisnu diyakini sebagai
pemelihara alam semesta yang dikaitkan pula dengan pura puseh ( dipuja melalui
pura puseh ).
Sekte Bodha atau Sogatha di Bali dibuktikan
dengan adanya penemuan mantra Bhuda tipe “yete mantra” dalam zeal meterai tanah
liat yang tersimpan dalam stupika. Stupika seperti itu diketahui di Pejeng –
Gianyar. Menurut penelitian Dr. W. F. Stutterheim mantra Budha aliran Mahayana
yang diperkirakan sudah ada di Genuruan-Bedulu, arca Boddhisatwa Padmapani di
Pura Galang Sanja-Pejeng, arca Boddha di Gua Gajah dan di tempat lainnya lagi.
Salah satu ritual Saiwa Shidhanta yang mengadopsi ajaran dari sekte Bodha dan
sogata ini adalah mengharuskan adanya pendeta Bodha dalam melaksanakan suatu
upacara tertentu yang dikenal dengan Trisadaka.
Sekte
Brahmana, menurut Dr. R. Goris seluruhnya telah luluh dengan Siwa sidhanta. Di
India sekte Brahmana disebut Smarta, tetapi sebutan Smarta tidak di kenal di
Bali. Kitab-kitab sasana, Adigama, Purwa digama, Kutara, Manawa, yang
bersumberkan manawa dharma sastra. Merupakan produk dari sekte Brahmana.
Mengenai
sekte Rsi di Bali, Goris menguraikan dengan menunjuk kepada suatu kenyataan,
bahwa di Bali, Rsi adalah seorang Dwijati yang bukan berasal dari Wangsa
(golongan) brahmana. Istilah Dewa Rsi atau Raja Rsi pada orang Hindu merupakan
orang suci di antara raja – raja dari wangsa Ksatria.
Sekte Sora, pemujaan terhadap Surya
sebagai Dewa Utama. Sistem pemujaan Dewa matahari yang disebut Suryasewana
dilakukan pada waktu matahari terbit dan tenggelam yang merupakan ciri khas
dari sekte Sora ini. Pustaka Lontar yang membentangkan Surya sewana ini
terdapat pula di Bali. Sertiap upacara agama di Bali selalu dilakukan pemujaan
terhadap Dewa Surya sebagai Dewa yang memberikan persaksian bahwa seseorang
telah melakukan yajna.
Sekte Gonapatya adalah kelompok
pemuja Dewa Ganesa. Adanya sekte ini di Bali terbukti dengan banyaknya
ditemukan arca ganesa baik berwujud besar maupun kecil. Ada bahan batu
padasatai dari logam yang biasanya tersimpan di beberapa Pura. Fungsi arca
Ganesa adalah sebagai Wigna, yaitu penghalang gangguan. Oleh karena itu pada
dasarnya ganesa diletakkan pada tempat-tempat yang dianggap bahaya, seperti
lereng gunung, lembah, laut, pada penyebrangan sungai, dan sebagainya. Setelah
jaman gelgel, banyak patung ganesa dipindahkan dari tempatnya yang terpencil ke
dalam salah satu tempat pemujaan. Akibatnya patung Ganesa itu tak dapat
pemujaan secara khusus, melainkan dianggap sama dengan patunng dewa lainnya.
Ganapatya ini merupakan salah satu dari lima sekte Hindu yang utama, sejalan
dengan aliran Saiwisme, Saktisme, Waisnawisme, dan Smartisme yang mengikuti
filsafat Adwaita. Meski sekte Ganapatya tidak sebesar empat sekte yang pertama,
namun sekte itu telah memberikan pengaruh. Ganapati juga dipuja sebagai sebuah
bagian dari aliran Saiwisme sejak abad ke-5. Sekte ini sempat dipopulerkan oleh
Sri Morya Gosavi. Sekte Ganapatya menjadi terkenal pada abad ke-17 dan 19 di
wilayah Maharashtra di India Barat, berpusat di sekitar Cinchwad.
Sekte Bhairawa adalah
sekte yang memuja Dewi Durga sebagai Dewa yang utama. Pemujaan terhadap Dewi
Durga di Pura Dalem yang ada di tiap desa pakraman di Bali merupakan pengaruh
dari sekte ini. Begitu juga pemujaan terhadap Ratu Ayu (Rangda) juga merupakan
pengaruh sekte Bhairawa. Sekte ini menjadi satu sekte wacamara (sekte aliran
kiri) yang mendambakan kekuatan magic, yang bermanfaat untuk kekuasaan duniawi.
Ajaran Sadcakra, yaitu enam lingkaran dalam badan dan ajaran mengenai Kundalini
yang hidup dalam tubuh manusia yang berasal dari sekte ini. (Gunawan, 2012: 48
– 50)
Pada abad ke-11
datanglah ke Bali seorang Brahmana dari majapahit yang berperan sangat besar
pada kemajuan Agama Hindu di Bali. Seperti disebutkan oleh R Goris pada masa
Bali kuna berkembang suatu kehidupan keagamaan yang bersifat sektarian. Ada
sembilan sekte yang pernah berkembang pada masa Bali kuna antar lai: Sekte
Pasupata, Bhairawa, Siwa Sidhanta, Waisnawa, Bodha, Brahma, Resi, Sora dan
Ganapatya. Diantara sekte-sekte tersebut Siwa Sidhanta merupakan sekte yang
sangat dominan. (Ardana, 1989: 56).
Bukti memang benar adanya kalau sekte –
sekte di Bali dikritalisasi menjadi Siwa Siddhanta dalam bentuk panca yadnya
adalah :
Didalam melakukan suatu
ritual apa pun umat Hindu selalu menggunakan beras dan air sebagai sarana upacaranya. . Dewi Sri
dipandang sebagai pemberian rejeki, pemberi kebahagian dan kemakmuran. Di
kalangan petani di Bali, Dewi Sri dipandang sebagai Dewanya padi yang merupakan
keperluan hidup yang utama. (Gunawan,
2012 : 49). Suhardana dalam bukunya Tri Murti berpendapat, peleburan Waisnawa dengan
Siwa Sidhanta dapat dilihat dari patung Ardhanareswara dalam bentuk separuh
wanita dan separuh pria yang dinamakan Hari Hara. Hari yang artinya Wisnu yang
memiliki wanita dan Hara (Siwa) yang memilki pria. Disamping itu, ada pula
tokoh Sengguhu yang merupakan golongan pendeta dari kelompok Waisnawa dan
mempunyai peranan dalam ritual menjelang Nyepi. (Suharndana, 2008 : 113). Di
sisi lain, sebuah blog yang domainnya bernama Pembelajaran Agama Hindu,
menyatakan bahwa peleburan unsur-unsur Sekte Waisnawa ke dalam paham Siwa
Sidhanta secara garis besar dapat dilihat dari 2 sisi yaitu : Sisi Upakara dan
Sisi Upacara. Air yang digunakan untuk ritual tersebut adalah air suci yang di
gunakan untuk Tirtha amerta. Dan beras di gunakan sebagai bija atau sarana lain yang dipersembahkan kepada Dewa. Dalam
hal ini penggunaan air dan beras dalam suatu upacara telah mengadopsi dari
sekte atau aliran Waisnawa yang dalam pemujaannya memuja Dewi Sri dan Dewa
Wisnu. Dalam upakara dapat dilihat bahwa unsur-unsur Waisnawa ada pada
penggunaan :
1) Sesayut
Agung, bentuknya:memakai aled/alas sesayut,tumpeng agung yang dipuncaknya
memakai telur itik direbus 1,4 kewangen, 4 bunga yang berwarna hitam, pada saat
dihaturkan bertempatkan di utara. Bentuk sesayut ini menggambarkan ciri-ciri
dari Wisnu yang merupakan Dewa yang dipuja dalam sekte Waisnawa.
2) Sesayut
Ratu Agung, menggunakan tiga nasi tumpeng dengan puncaknya diisi satu buah
telur itik, Bunga cempaka yang ditempatkan pada empat penjuru mengelilingi
tumpeng, dua kewangen disandarkan pada tumpeng, dua tulung, sasangahan sarwa
galahan, sodan woh, berbagai jenis buah-buahan. Dipersembahkan pada Dewa Wisnu.
3) Canang
Genten, bentuknya : memakai alas yang berupa ceper atau yang berupa
reringgitan, disusun dengan plawa (daun), porosan yang berupa sedah berisi apuh
dan jambe diikat dengan tali porosan, disusun dengan tempat minyak, bunga dan
pandan arum yang bermakna penyatuan pikiran yang suci untuk sujud bhakti
kehadapan Hyang Widhi dalam wujudnya sebagai Brahma Wisnu dan Iswara.
4) Gayah
Urip, mempergunakan seekor babi. Diatas
kepala babi tersebut ditancapkan sembilan jenis sate yang berbentuk senjata,
yang penempatannya sesuai dengan pengideran dewata nawa sanga. Salah satu dari
sate tersebut berbentuk cakra (senjata Dewa Wisnu) dengan puncaknya Amparu
ditancapkan disebelah utara (Untram).
5) Tirta,
hampir disetiap upacara menggunakan tirta yang terbuat dari yang telah
disucikan. Air merupakan lambang dari Dewa Wisnu.
6) Banten
Catur Rebah : pada banten ini salah satunya menggunakan biyu lurut 4 buah,
diletakan di utara sebagai simbol Dewa Wisnu.
7) Banten
Pula Gembal, terdapat beberapa bagian yang mewakili wisnu diantaranya adalah
terdapat jajan yang menggambarkan senjata dan salah satunya adalah senjata
cakra yang merupakan senjatanya Dewa Wisnu. Adanya unsur Waisnawa dipertegas
lagi dalam puja Pula Gembal, yaitu :
Om Ganapati ya namah swaha
Om Ang brahma saraswat Dewaya Namah
Swaha
Om Ung Wisnu Sri Dewyo namah swaha
Om Mang Iswara Uma Dewya namah swaha
Om Om Rudra Rudga Dewya namah swaha
Om Sri Guru Byo namah swaha .
Sisi Upacara
Dalam upacara dapat
dilihat bahwa unsur-unsur Waisnawa ada pada bentuk upacara seperti dibawah ini
:
1) Upacara
Mapag Yeh, dilakukan oleh para krama subak yeh yang ditujukan kepada Dewa
Wisnu.
2) Mabyukukung,
upacara ini menggunakan upakara berupa banten dapetan, penyeneng, jerimpen,
pangambyan, sodan, canang, raka putih kuning, toya anyar/air bersih baru di dalam sibuh yang berisi pucuk daun dapdap.
Yang dipuja adalah Hyang Sri Laksmi yang merupakan saktinya Dewa Wisnu.
Di Bali kita mengenal
dengan adanya ritual mecaru dalam pelaksanaan suatu yajna, itu merupakan salah
satu konsepsi ajaran Saiwa Shidanta yang diadopsi dari sekte Bhairaw. Dalam
sarana caru itu kita menggunakan darah hewan, ritual mecaru ini dilakukan untuk
mengusir kala – kala agar kita tidak diganggu (memberi sesajen). Sistem mecaru
ini kita ketahui terdahulu dari sekte Bhairawa. Di Bali juga di kenal dengan
adanya upacara Ngrsigana atau Rsigana yaitu upacara sama seperti halnya dengan
mecaru tetapi pelaksanaan lebih besar atau bisa dibilang sesajennya lebih
banyak daripada mecaru saja. Pelaksanaan upacara Surya Sewana oleh umat Hindu
di Bali dilakukan untuk nunas Tirta atau air suci yang digunakan sebagai sarana
upakara. Upacara ini di lakukan sebelum matahari terbit. Palaksanaan yadnya ini
dahulu termuat dalam sekte Sora, pemujaan terhadap Surya sebagai Dewa Utama. Upacara
ini di lakukan sebelum matahari terbit. Pustaka Lontar yang membentangkan
Suryasewana ini terdapat pula di Bali. Sertiap upacara agama di Bali selalu
dilakukan pemujaan terhadap Dewa Surya sebagai Dewa yang memberikan persaksian
bahwa seseorang telah melakukan yajna. Bukti sekte ini berkembang di Bali
dengan adanya mantra dalam kramaning sembah, yang berbunyi :
Om Aditiya Syaparam Jyoti,
Rakta teja namo’stute,
Sweta pankaja madhyastha,
Bhaskaraya namo stute.
Terjemahan :
Om sinar suryayang maha
hebat, engkau beresinar merah, hormat padamu, engkau yang berada di tengah
teratai putih, hormat pada Mu pembuat sinar.
Kepercayaan
Umat Hindu dengan Dewa Api (Dewa Agni)yang diidentikkan dengan Dewa Brahma,
karena perkembangan pemahaman theologi tentang Dewa, Dewa Agni yang pada zaman
weda beralih menjadi Dewa Brahma pada zaman upanishad, sama halnya dengan Dewa
Waruna menjadi Dewa Wisnu dan beberapa resuffle
Dewa yang lainya. Menurut Dr. Goris, Sekte Brahmana seluruhnya telah luluh
dengan Siwa Sidhanta. Di India Sekte Brahmana disebut Smarta, tetapi sebutan
Smarta tidak dikenal di Bali. Kitab-kitab Sasana, Adigama, parwa digama, kutara,
Manawa Dharmasastra yang merupakan produk dari Sekte Brahmana. (Sumber:http://thoriqs.blogspot.com/2011/03/sekte.html
diakses Sabtu, 20 Maret 2012 Pukul 11.00 Wita).
Penganut
Sekte Brahmana banyak mempersembahkan wujud bhaktinya melalui upacara Dewa
Yadnya : mempersembahkan minyak dan biji-bijian kepada Dewa Siwa, Agni (rumusan
panca yadnya dalam Lontar Agastya Yadnya).
Salah satu upacara yang paling populer dari sekte ini adalah Agni Hotra (Homa Yadnya).Warisan luhur
dari Sekte Brahmana berkaitan dengan Panca Yadnya secara riil yang dapat kita
lihat sampai sekarang adalah penggunanan api ketika melalukan ritual agama.
Penggunaan api dalam ritual agama Hindu bisa berupa dupa, api takep dan dipa.
Referensi
:
Gunawan, I Ketut Pasek.
2012. Pengantar Bahan Ajar Siva Siddhanta I. Denpasar: IHDN
Pandit.
Bansi. 2006. Pemikiran Hindu Pokok-Pokok Pikiran Agama Hindu. Surabaya:
Paramita
Yendra
I Wayan. 2009. Kanda Empat Dewa (Manusia Setengah Dewa Sakti Manderaguna). Surabaya: Paramita
Http://wikipedia/.com/sekte/2010/html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar