Selasa, 21 Januari 2014

SIWA SIDANTHA PART I



NAMA            : NI KETUT MARTINI DEWI
NIM                : 10.1.1.1.1.3893
KELAS           : PAHB / IV

I.       Definisi Śiva dan keseluruhan tentang Śiwa, berikut penjelasannya :
Sesungguhnya agama Hindu adalah agama tertua di dunia, hal itu bisa dibuktikan dalam usia penelitian kitab-kitab Weda yang dilontarkan oleh para ahli bahwa agama yang berasal dari benua India ini tumbuh dan berkembang pada sekitar 6000 tahun sebelum masehi. Bahkan dalam ekspedisi penggalian di Mesir telah ditemukan sebuah inskripsi yang diketahui berangka tahun 1200 SM. Isinya adalah perjanjian antara Ramses II dengan Hitites. Dalam perjanjian tersebut juga ada istilah ‘Maitra Waruna’ yaitu sebagai gelar manisfestasi Sang Hyang Widhi Wasa yang menurut agama Hindu disebut-sebut dalam Weda disebut saksi. Dalam kitab suci Reg Weda, Weda yang pertama, disebutkan adanya 33 Dewa, yang mana ketiga puluh tiga Dewa tersebut merupakan manifestasi dari kemahakuasaan Tuhan Yang Maha Esa. Salah satu dari ke 33 dewa tersebut adalah Dewa Śiva.
 Śiva, , शिव adalah salah satu dari tiga dewa utama (Trimurti) dalam agama Hindu. Kedua dewa lainnya adalah Brahma dan Wisnu. Dalam ajaran agama Hindu, Dewa Śiva adalah dewa pelebur, bertugas melebur segala sesuatu yang sudah usang dan tidak layak berada di dunia fana lagi sehingga harus dikembalikan kepada asalnya. Oleh umat Hindu Bali, dalam wilayah desa pakraman Dewa Śiva dipuja di Pura Dalem, sebagai dewa yang mengembalikan manusia ke unsurnya, menjadi Panca Maha Bhuta. Dalam pengider Dewata Nawa Sangga (Nawa Dewata), Dewa Śiva menempati arah tengah dengan warna panca warna. Ia bersenjata padma dan mengendarai lembu Nandini. Aksara sucinya I dan Ya. Ia dipuja di Pura Besakih. Dalam tradisi Indonesia lainnya, kadangkala Dewa Śiva disebut dengan nama Batara Guru. Menurut cerita-cerita keagamaan yang terdapat dalam kitab-kitab suci umat Hindu, Dewa Śiva memiliki putra-putra yang lahir dengan sengaja ataupun tidak disengaja. Beberapa putra Dewa Śiva tersebut yakni: Dewa Kumara (Kartikeya), Dewa Kala, Dewa Ganesa.
Menurut I Wayan Maswinara arti sebenarnya dari Śiva  adalah Alam Semesta ini “tertidur” setelah pemusnahan dan sebelum siklus penciptaan berikutnya. Semua yang lahir harus mati. Segala yang dihasilkan harus dipisahkan dan dihancurkan. Ini merupakan hukum yang tidak dapat dilanggar. Prinsip yang menyebabkan keterpisahan ini, daya dibalik penghancuran ini adalah Śiva. Tapi sejauh lebih daripada itu, keterpisahan Alam Semesta berakhir pada pengurangan tertinggi, menjadi kekosongan tanpa batas. Kekosongan tanpa batas, adalah bagian dari keberadaan, dari mana berulang – ulang muncul alam semesta yang tampaknya tanpa batas ini, adalah Śiva. Dengan demikian, walaupun Śiva dilukiskan sebagai yang bertanggung jawab terhadap penciptaan dan pemeliharaan keberadaan ini. Jadi Brahma dan Wisnu juga disebut Śiva. Dalam pengertian Kanda Pat Dewa Śiva tidak lain adalah Brahman itu sendiri, maka wajarlah kalau semua dewa lahir dan lebur kembali kepada – Nya. Seperti yang sudah dijelaskan diatas bahwa, “Brahman datang kepada pemikiran”, Dia tidak dapat dicapai oleh pemikiran. Tetapi kapankah Dia datang ?. Dia datang pada saat gejolak pemikiran tidak ada lagi. Dia hanya datang dalam situasi yang dikendalikan oleh Śiva. Seperti yang dikatakan oleh Mitologi Hindu Śiva adalah pengembara di malam hari. Dia dapat dihubungi hanya dalam kegelapan malam. Maka pada malam harilah, dan hanya disitu saja, Śiva menyampaikan isyarat – isyarat, atau ajaran – ajaran rahasia lewat saktinya Dewi Uma.Dewa Śiva melambangkan aspek dari kenyataan yang Mutlak (Brahman dalam Upanisad) yang secara terus menerus menciptakan kembali, dalam siklus proses penciptaan, pemeliharaan dan peleburan dan penciptaan kembali. Ia menghilangkan kejahatan, menganugrahkan anugrah, memberikan berkah, menghancurkan ketidakpedulian, dan membangkitkan kebijaksanaan pada pemujaannya. (Yendra, 2009: 39 – 40)
Dewa Śiva digambarkan dalam bentuk manusia. Tubuhnya telanjang dan dipenuhi dengan abu. Tubuh yang telanjang melambangkan bahwa Ia bebas dari keterikatan pada benda material didunia, abu melambangkan intisari dari semua benda dan makhluk didunia. Abu pada tubuh dewa melambangkan bahwa Ia adalah sumber dari seluruh penciptaan yang berasal dari dalam dirinya.Dewa Śiwa yang bemata  Dewa Śiva memiliki tiga mata,yaitu phala netra, agni netra, dan triloka netra. Dua matanya pada bagian kiri dan kanan melambangkan aktifitas fisiknya di dunia. Yang ketiga di pusat dahinya yang melambangkan pengetahuan (jñāna), dan ini disebut dengan mata kebijaksanaan atau pengetahuan. Kekuatan pandangan mata ketiga Śiva menghancurkan kejahatan, dan ini adalah mengapa orang berbuat kejahatan sangat takut dengan mat ketigaNya. Kekuatan penghancur Śiva dilambangkan oleh ular di sekitar lehernya. Dalam purana yang lain dikatakan juga bahwa ular tersebut berfungsi untuk mencegah racun yang diminum saat para dewa dan asura memperebutkan tirtha amertha masuk kedalam tubuh dewa Śiva. Dalam berbagai gambar Śiva digambarkan memegang Trisula di tangan belakang,  Dalam Śiva Purana disebutkan bahwa Dewa yang bersenjatakan Trisula , Brahman yang agung, yaitu Śiva adalah asal mula penciptaan, pemeliharaan, dan penghancuran, pelenyapan, serta pemberkatan. Tanpa campur tangan beliau maka tidak seujung rambut pun benda atau makhluk bisa dihancurkan. Sebuah Trisula memiliki tiga ujung, yang menandakan tiga sifat alam : sattva (keaktifan), rajas (kegiatan), dan tamas (ketidakaktifan). Trisula melambangkan bahwa dewa jauh dari jangkauan ketiga sifat alam ini. Trisula juga melambangkan senjata yang digunakan Dewa untuk menghancurkan kejahatan dan ketidakpedulian di dunia, Trisula senjata yang utama Siva, ada pula senjata lain disebut Pinaka, oleh karena itu Siva disebut dengan nama Pinakapani (Siva yang memegang Pinaka di tangannya). Siva digambarkan memiliki 2,2,8, dan 10 tangan. Disamping membawa Pinaka, Śiva juga memegang Tongkat yang dinamakan Khatyanga, busur (Ajagava), seekor menjangan, genitri, tengkorak, damaru (gendang kecil), dan benda-benda suci lainnya. (Gunawan, 2012: 60)
 Sebuah Damaru (kendang kecil) yang menghasilkan suara yang bergetar. Seperti yang disebut kan dalam kitab Hindu suara yang bergetar dari suku kata Oṁ yang suci dipercaya sebagai sumber dari penciptaan. Sebuah damaru pada salah satu tangan mengandung makna bahwa ia menyangga seluruh ciptaan di tangannya, mengatur sesuai dengan keinginannya. Di dalam kitab purana dijelaskan hiasan  yang di gunakan oleh Deva Śiva.  Istri para rsi terpikat kepada Śiva, yang sekali waktu tampil dengan mengenakan pakaian seperti peminta-minta. Para rsi sangat marah terhadap Śiva atas penampilannya itu dan ingin membunuhnya. Dari lobang yang di gali, muncul seekor harimau. Śiva membunuh harimau itu dan mengambil kulitnya. Seekor menjangan mengikuti harimau dan juga muncul dari lubang yang sama. Śiva memegang binatang itu dengan tangan kirinya. Selanjutnya muncul dari lubang itu tongkat besi panas berwarna merah. Śiva mengambil tongkat itu dan menjadikan senjatanya. Terahir dari lubang muncul beberapa ular kobra dan siva mengambil ular dan mengenakan sebagai hiasan.
Karena harimau menyimbolkan kekuatan, kulit harimau yang menjadi tempat duduk Dewa Śiva melambangkan Ia adalah sumber dari kekuatan yang pasti yang Ia kendalikan sesuai dengan keinginanNya. Bulan sabit yang terlihat pada kepala Dewa Śiva sebagai hiasan, dan bukan menjadi bagian dari tubuhNya. Pembahasan dan pengecilan bulan melambangkan siklus waktu dimana penciptaan ada didalamnya dari awal sampai akhir dan kembali ke awal lagi. Karena Tuhan adalah Kenyataan yang Abadi, bulan sabit hanyalah hiasan dan bukan bagian penting diriNya. Bulan juga melambangkan sifat hati seperti cinta, kebaikan, dan kasih. Bulan sabit yang dekat dengan kepala Dewa memilki makna bahwa seorang pemuja harus mengembangkan sifat – sifat ini agar dapat lebih dekat dengan Dewa. Śiva digambarkan duduk di kuburan, yang melambangkan kemutlakannya untuk mengendalikan kelahiran dan kematian Seekor sapi, yang dikenal dengan nama Nandi, yang dihubungkan dengan Śiva dan dikatakan sebagai kendaraannya. Sapi jantan ini melambangkan kekuatan dan ketidakpedulian. Śiva mengendarai sapi menandakan bahwa Śiva menghilangkan ketidakpedulian dan menganugerahkan kekuatan kebijaksanaan pada pemujanya. Sapi dalam Sanskṛtanya Vṛṣa. Dalam bahasa Sanskṛta Vṛṣa juga berarti Dharma (kebenaran). Sehingga sapi disamping Śiva melambangkan persahabatan abadi dan kebenaran. Nandi juga melambangkan kesadaran seseorang (sṛṣṭa puruṣa) atau manusia yang sempurna, yang terserap secara permanen dalam pandangan Kenyataan. (
Referensi :
Gunawan, I Ketut Pasek. 2012. Pengantar Bahan Ajar Siva Siddhanta I. Denpasar: IHDN
Pandit. Bansi. 2006. Pemikiran Hindu Pokok-Pokok Pikiran Agama Hindu. Surabaya: Paramita
Yendra I Wayan. 2009. Kanda Empat Dewa (Manusia Setengah Dewa Sakti Manderaguna).  Surabaya: Paramita


II. Carilah Siva Sidhanta dalam panca yadnya, kristalisasi sekte – sekte yang di Bali menjadi Siwa Sidhanta dalam bentuk panca yadnya. Buktikan kalau itu benar!
Sebelum kita membahas kristalisasi sekte – sekte di Bali di bawa dalam bentuk panca yadnya, kita terlebih dahulu perlu mengetahui macam – macam sekte beserta penjelasannya.
Agama Hindu berkembang menjadi banyak sekte. Ini disebabkan karena Weda tidak diwahyukan kepada seorang Maha – Rsi saja, dan juga tidak diwahyukan dalam kurun waktu yang sama dan diwahyukan pula di tempat yang berbeda. Ada tujuh Maha Rsi yang menerima wahyu Weda, yaitu:Maha-Rsi Grtsamada, Maha-Rsi Wiswamitra, Maha-Rsi Wamadewa, Maha-Rsi Atri, Maha-Rsi Bharadwaja, Maha-Rsi Wasistha dan Maha-Rsi Kanwa. Ketujuh Maha-Rsi itu menafsirkan wahyu-wahyu yang diterima, kemudian mendirikan perguruan-perguruan serta mempunyai murid atau pengikut masing-masing. Inilah bentuk awal dari adanya sekte-sekte Agama Hindu. Menurut Dr. Goris, sekte-sekte yang pernah ada di Bali setelah abad IX meliputi Siwa Sidhanta, Brahmana, Resi, Sora, Pasupata, Ganapatya, Bhairawa, Waisnawa, dan Sogatha (Goris, 1974: 10-12). Di antara sekte-sekte tersebut, yang paling besar pengaruhnya di Bali sekte Siwa Sidhanta. Ajaran Siwa Sidhanta termuat dalam lontar Bhuanakosa.
Sekte Siwa memiliki cabang yang banyak. Antara lain Pasupata, Kalamukha, Bhairawa, Linggayat dan Siwa Sidhanta yang paling besar pengikutnya. Kata Sidhanta berarti inti atau kesimpulan. Jadi Siwa Sidhanta berarti kesimpulan atau inti dari ajaran Siwaisme. Siwa Sidhanta ini mengutamakan pemujaan kehadapan Tri Purusha yaitu Parama Siwa, Sada Siwa dan Siwa. Brahma, Wisnu dan dewa-dewa lainnya tetap dipuja sesuai dengan tempat dan fungsinya karena semua dewa-dewa itu tidak lain dari manifestasi Siwa sesuai dengan fungsinya yang berbeda-beda. Siwa Sidhanta ini mula-mula berkembang di India Tengah (Madyapradesh) yang kemudian disebarkan ke India selatan dipimpin oleh Maharesi Agastya.
Penganut Hindu dari sekte Siwa Siddhanta meyakini Tuhan adalah Siwa. Salah satu bentuk pemujaan Siwa yang dilakukan oleh pada Pendeta Siwa adalah dengan mengucapkan mantra yang disebut sebagai Mantra Catur Dasa Siwa, yakni empat belas wujud Siwa. Mantra ini digunakan untuk mendapat pengaruh anugerah yang kuat dan suci serta untuk mendapat kebahagian sekala – niskala. Ajaran Siwa Siddhanta di Bali terdiri dari tiga kerangka utama yaitu Tattwa, Susila dan Upacara keagamaan. Tatwa atau filosofi yang mendasarinya adalah ajaran Siwa Tattwa. Di dalan Siwa Tattwa, Sang Hyang Widhi adalah Ida Bhatara Siwa. Dalam lontar Jnana Siddhanta dinyatakan bahwa Ida Bhatara Siwa adalah Esa yang bermanifestasi beraneka menjadi Bhatara - Bhatari.
Sekte Pasupata juga merupakan sekte pemuja Siwa. Bedanya dengan Siwa Sidhanta adalah dalam cara pemujaannya. Cara pemujaan sekte Pasupata adalah dengan menggunakan lingga sebagai simbol tempat turunnya/berstananya Dewa Siwa. Jadi penyembahan Lingga sebagai lambang Siwa adalah merupakan ciri khas sekte Pasupata. Perkembangannya sekte Pasupata di Bali adalah dengan adanya pemujaan Lingga. Di beberapa tempat terutama di beberapa pura yang tergolong kuno terdapat Lingga dalam jumlah besar. Ada yang dibuat berlandaskan konsepsi yang sempurna dan ada pula dibuat sangat sederhana sehingga merupakan Lingga semu. Pemujaan Lingga sebagai lambang Dewa Siwa adalah merupakan ciri-ciri khas aliran Pasupata.
Sekte Waisnawa di Bali dengan jelas diberikan petunjuk dalam konsepsi agama Hindu di Bali tentang pemujaan Dewi Sri. Dewi Sri dipandang sebagai pemberi rejeki, pemberi kebahagiaan dan kemakmuran. Di kalangan petani di Bali Dewi Sri dipandang sebagai Dewanya padi yang merupakan keperluan hidup yang utama. Ceritera-ceritera mengenai Awatara Wisnu ke dunia untuk menyelamatkan dunia dari kehancuran akibat dominasi adharma juga dikenal dan sangat popular di Bali dan ini pula bukti berkembangnya sekte Waisnawa di Bali. Bukti lain  yang menguatkan berkembangnya sekte waisnawa di Bali yakni dengan berkembangnya warga Rsi Bujangga. Praktek-praktek ritual dari Saiwa Siddhanta dengan warna Tantrik dapat kita lihat dari ritual para Pendeta di Bali seperti dalam pelaksanaan Suryasevana dengan patangan atau mudra serta mantra-mantra ( Stuti dan Stava ). Waisnawa Sampradaya memiliki peninggalan dalam tradisi adalah pemujaan kepada Dewi Sri sebagai Dewi kemakmuran. Sri adalah sakti dari Dewa Wisnu sedang Wisnu diyakini sebagai pemelihara alam semesta yang dikaitkan pula dengan pura puseh ( dipuja melalui pura puseh ).
 Sekte Bodha atau Sogatha di Bali dibuktikan dengan adanya penemuan mantra Bhuda tipe “yete mantra” dalam zeal meterai tanah liat yang tersimpan dalam stupika. Stupika seperti itu diketahui di Pejeng – Gianyar. Menurut penelitian Dr. W. F. Stutterheim mantra Budha aliran Mahayana yang diperkirakan sudah ada di Genuruan-Bedulu, arca Boddhisatwa Padmapani di Pura Galang Sanja-Pejeng, arca Boddha di Gua Gajah dan di tempat lainnya lagi. Salah satu ritual Saiwa Shidhanta yang mengadopsi ajaran dari sekte Bodha dan sogata ini adalah mengharuskan adanya pendeta Bodha dalam melaksanakan suatu upacara tertentu yang dikenal dengan Trisadaka.
Sekte Brahmana, menurut Dr. R. Goris seluruhnya telah luluh dengan Siwa sidhanta. Di India sekte Brahmana disebut Smarta, tetapi sebutan Smarta tidak di kenal di Bali. Kitab-kitab sasana, Adigama, Purwa digama, Kutara, Manawa, yang bersumberkan manawa dharma sastra. Merupakan produk dari sekte Brahmana.
Mengenai sekte Rsi di Bali, Goris menguraikan dengan menunjuk kepada suatu kenyataan, bahwa di Bali, Rsi adalah seorang Dwijati yang bukan berasal dari Wangsa (golongan) brahmana. Istilah Dewa Rsi atau Raja Rsi pada orang Hindu merupakan orang suci di antara raja – raja dari wangsa Ksatria.
            Sekte Sora, pemujaan terhadap Surya sebagai Dewa Utama. Sistem pemujaan Dewa matahari yang disebut Suryasewana dilakukan pada waktu matahari terbit dan tenggelam yang merupakan ciri khas dari sekte Sora ini. Pustaka Lontar yang membentangkan Surya sewana ini terdapat pula di Bali. Sertiap upacara agama di Bali selalu dilakukan pemujaan terhadap Dewa Surya sebagai Dewa yang memberikan persaksian bahwa seseorang telah melakukan yajna.
            Sekte Gonapatya adalah kelompok pemuja Dewa Ganesa. Adanya sekte ini di Bali terbukti dengan banyaknya ditemukan arca ganesa baik berwujud besar maupun kecil. Ada bahan batu padasatai dari logam yang biasanya tersimpan di beberapa Pura. Fungsi arca Ganesa adalah sebagai Wigna, yaitu penghalang gangguan. Oleh karena itu pada dasarnya ganesa diletakkan pada tempat-tempat yang dianggap bahaya, seperti lereng gunung, lembah, laut, pada penyebrangan sungai, dan sebagainya. Setelah jaman gelgel, banyak patung ganesa dipindahkan dari tempatnya yang terpencil ke dalam salah satu tempat pemujaan. Akibatnya patung Ganesa itu tak dapat pemujaan secara khusus, melainkan dianggap sama dengan patunng dewa lainnya. Ganapatya ini merupakan salah satu dari lima sekte Hindu yang utama, sejalan dengan aliran Saiwisme, Saktisme, Waisnawisme, dan Smartisme yang mengikuti filsafat Adwaita. Meski sekte Ganapatya tidak sebesar empat sekte yang pertama, namun sekte itu telah memberikan pengaruh. Ganapati juga dipuja sebagai sebuah bagian dari aliran Saiwisme sejak abad ke-5. Sekte ini sempat dipopulerkan oleh Sri Morya Gosavi. Sekte Ganapatya menjadi terkenal pada abad ke-17 dan 19 di wilayah Maharashtra di India Barat, berpusat di sekitar Cinchwad.
Sekte Bhairawa adalah sekte yang memuja Dewi Durga sebagai Dewa yang utama. Pemujaan terhadap Dewi Durga di Pura Dalem yang ada di tiap desa pakraman di Bali merupakan pengaruh dari sekte ini. Begitu juga pemujaan terhadap Ratu Ayu (Rangda) juga merupakan pengaruh sekte Bhairawa. Sekte ini menjadi satu sekte wacamara (sekte aliran kiri) yang mendambakan kekuatan magic, yang bermanfaat untuk kekuasaan duniawi. Ajaran Sadcakra, yaitu enam lingkaran dalam badan dan ajaran mengenai Kundalini yang hidup dalam tubuh manusia yang berasal dari sekte ini. (Gunawan, 2012: 48 – 50)
Pada abad ke-11 datanglah ke Bali seorang Brahmana dari majapahit yang berperan sangat besar pada kemajuan Agama Hindu di Bali. Seperti disebutkan oleh R Goris pada masa Bali kuna berkembang suatu kehidupan keagamaan yang bersifat sektarian. Ada sembilan sekte yang pernah berkembang pada masa Bali kuna antar lai: Sekte Pasupata, Bhairawa, Siwa Sidhanta, Waisnawa, Bodha, Brahma, Resi, Sora dan Ganapatya. Diantara sekte-sekte tersebut Siwa Sidhanta merupakan sekte yang sangat dominan. (Ardana, 1989: 56).

Bukti memang benar adanya kalau sekte – sekte di Bali dikritalisasi menjadi Siwa Siddhanta dalam bentuk panca yadnya adalah :
Didalam melakukan suatu ritual apa pun umat Hindu selalu menggunakan beras dan  air sebagai sarana upacaranya. . Dewi Sri dipandang sebagai pemberian rejeki, pemberi kebahagian dan kemakmuran. Di kalangan petani di Bali, Dewi Sri dipandang sebagai Dewanya padi yang merupakan keperluan  hidup yang utama. (Gunawan, 2012 : 49). Suhardana dalam bukunya Tri Murti berpendapat, peleburan Waisnawa dengan Siwa Sidhanta dapat dilihat dari patung Ardhanareswara dalam bentuk separuh wanita dan separuh pria yang dinamakan Hari Hara. Hari yang artinya Wisnu yang memiliki wanita dan Hara (Siwa) yang memilki pria. Disamping itu, ada pula tokoh Sengguhu yang merupakan golongan pendeta dari kelompok Waisnawa dan mempunyai peranan dalam ritual menjelang Nyepi. (Suharndana, 2008 : 113). Di sisi lain, sebuah blog yang domainnya bernama Pembelajaran Agama Hindu, menyatakan bahwa peleburan unsur-unsur Sekte Waisnawa ke dalam paham Siwa Sidhanta secara garis besar dapat dilihat dari 2 sisi yaitu : Sisi Upakara dan Sisi Upacara. Air yang digunakan untuk ritual tersebut adalah air suci yang di gunakan untuk Tirtha amerta. Dan beras di gunakan sebagai bija atau sarana  lain yang dipersembahkan kepada Dewa. Dalam hal ini penggunaan air dan beras dalam suatu upacara telah mengadopsi dari sekte atau aliran Waisnawa yang dalam pemujaannya memuja Dewi Sri dan Dewa Wisnu. Dalam upakara dapat dilihat bahwa unsur-unsur Waisnawa ada pada penggunaan :
1)      Sesayut Agung, bentuknya:memakai aled/alas sesayut,tumpeng agung yang dipuncaknya memakai telur itik direbus 1,4 kewangen, 4 bunga yang berwarna hitam, pada saat dihaturkan bertempatkan di utara. Bentuk sesayut ini menggambarkan ciri-ciri dari Wisnu yang merupakan Dewa yang dipuja dalam sekte Waisnawa.
2)      Sesayut Ratu Agung, menggunakan tiga nasi tumpeng dengan puncaknya diisi satu buah telur itik, Bunga cempaka yang ditempatkan pada empat penjuru mengelilingi tumpeng, dua kewangen disandarkan pada tumpeng, dua tulung, sasangahan sarwa galahan, sodan woh, berbagai jenis buah-buahan. Dipersembahkan pada Dewa Wisnu.
3)      Canang Genten, bentuknya : memakai alas yang berupa ceper atau yang berupa reringgitan, disusun dengan plawa (daun), porosan yang berupa sedah berisi apuh dan jambe diikat dengan tali porosan, disusun dengan tempat minyak, bunga dan pandan arum yang bermakna penyatuan pikiran yang suci untuk sujud bhakti kehadapan Hyang Widhi dalam wujudnya sebagai Brahma Wisnu dan Iswara.
4)      Gayah Urip,  mempergunakan seekor babi. Diatas kepala babi tersebut ditancapkan sembilan jenis sate yang berbentuk senjata, yang penempatannya sesuai dengan pengideran dewata nawa sanga. Salah satu dari sate tersebut berbentuk cakra (senjata Dewa Wisnu) dengan puncaknya Amparu ditancapkan disebelah utara (Untram).
5)      Tirta, hampir disetiap upacara menggunakan tirta yang terbuat dari yang telah disucikan. Air merupakan lambang dari Dewa Wisnu.
6)      Banten Catur Rebah : pada banten ini salah satunya menggunakan biyu lurut 4 buah, diletakan di utara sebagai simbol Dewa Wisnu.
7)      Banten Pula Gembal, terdapat beberapa bagian yang mewakili wisnu diantaranya adalah terdapat jajan yang menggambarkan senjata dan salah satunya adalah senjata cakra yang merupakan senjatanya Dewa Wisnu. Adanya unsur Waisnawa dipertegas lagi dalam puja Pula Gembal, yaitu :

Om Ganapati ya namah swaha
Om Ang brahma saraswat Dewaya Namah Swaha
Om Ung Wisnu Sri Dewyo namah swaha
Om Mang Iswara Uma Dewya namah swaha
Om Om Rudra Rudga Dewya namah swaha
Om Sri Guru Byo namah swaha .

 Sisi Upacara
Dalam upacara dapat dilihat bahwa unsur-unsur Waisnawa ada pada bentuk upacara seperti dibawah ini :
1)      Upacara Mapag Yeh, dilakukan oleh para krama subak yeh yang ditujukan kepada Dewa Wisnu.
2)      Mabyukukung, upacara ini menggunakan upakara berupa banten dapetan, penyeneng, jerimpen, pangambyan, sodan, canang, raka putih kuning, toya anyar/air bersih baru  di dalam sibuh yang berisi pucuk daun dapdap. Yang dipuja adalah Hyang Sri Laksmi yang merupakan saktinya Dewa Wisnu.

Di Bali kita mengenal dengan adanya ritual mecaru dalam pelaksanaan suatu yajna, itu merupakan salah satu konsepsi ajaran Saiwa Shidanta yang diadopsi dari sekte Bhairaw. Dalam sarana caru itu kita menggunakan darah hewan, ritual mecaru ini dilakukan untuk mengusir kala – kala agar kita tidak diganggu (memberi sesajen). Sistem mecaru ini kita ketahui terdahulu dari sekte Bhairawa. Di Bali juga di kenal dengan adanya upacara Ngrsigana atau Rsigana yaitu upacara sama seperti halnya dengan mecaru tetapi pelaksanaan lebih besar atau bisa dibilang sesajennya lebih banyak daripada mecaru saja. Pelaksanaan upacara Surya Sewana oleh umat Hindu di Bali dilakukan untuk nunas Tirta atau air suci yang digunakan sebagai sarana upakara. Upacara ini di lakukan sebelum matahari terbit. Palaksanaan yadnya ini dahulu termuat dalam sekte Sora, pemujaan terhadap Surya sebagai Dewa Utama. Upacara ini di lakukan sebelum matahari terbit. Pustaka Lontar yang membentangkan Suryasewana ini terdapat pula di Bali. Sertiap upacara agama di Bali selalu dilakukan pemujaan terhadap Dewa Surya sebagai Dewa yang memberikan persaksian bahwa seseorang telah melakukan yajna. Bukti sekte ini berkembang di Bali dengan adanya mantra dalam kramaning sembah, yang berbunyi :
Om Aditiya Syaparam Jyoti,
Rakta teja namo’stute,
Sweta pankaja madhyastha,
Bhaskaraya namo stute.

Terjemahan :
Om sinar suryayang maha hebat, engkau beresinar merah, hormat padamu, engkau yang berada di tengah teratai putih, hormat pada Mu pembuat sinar.
Kepercayaan Umat Hindu dengan Dewa Api (Dewa Agni)yang diidentikkan dengan Dewa Brahma, karena perkembangan pemahaman theologi tentang Dewa, Dewa Agni yang pada zaman weda beralih menjadi Dewa Brahma pada zaman upanishad, sama halnya dengan Dewa Waruna menjadi Dewa Wisnu dan beberapa resuffle Dewa yang lainya. Menurut Dr. Goris, Sekte Brahmana seluruhnya telah luluh dengan Siwa Sidhanta. Di India Sekte Brahmana disebut Smarta, tetapi sebutan Smarta tidak dikenal di Bali. Kitab-kitab Sasana, Adigama, parwa digama, kutara, Manawa Dharmasastra yang merupakan produk dari Sekte Brahmana. (Sumber:http://thoriqs.blogspot.com/2011/03/sekte.html diakses Sabtu, 20 Maret 2012 Pukul 11.00 Wita).
Penganut Sekte Brahmana banyak mempersembahkan wujud bhaktinya melalui upacara Dewa Yadnya : mempersembahkan minyak dan biji-bijian kepada Dewa Siwa, Agni (rumusan panca yadnya dalam Lontar Agastya Yadnya).  Salah satu upacara yang paling populer dari sekte ini adalah Agni Hotra (Homa Yadnya).Warisan luhur dari Sekte Brahmana berkaitan dengan Panca Yadnya secara riil yang dapat kita lihat sampai sekarang adalah penggunanan api ketika melalukan ritual agama. Penggunaan api dalam ritual agama Hindu bisa berupa dupa, api takep dan dipa.



Referensi :
Gunawan, I Ketut Pasek. 2012. Pengantar Bahan Ajar Siva Siddhanta I. Denpasar: IHDN
Pandit. Bansi. 2006. Pemikiran Hindu Pokok-Pokok Pikiran Agama Hindu. Surabaya: Paramita
Yendra I Wayan. 2009. Kanda Empat Dewa (Manusia Setengah Dewa Sakti Manderaguna).  Surabaya: Paramita
Http://wikipedia/.com/sekte/2010/html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar